by

Elektabilitas Naik, Nasdem Pede Pisah dari Pemerintah?

Oleh: Pepih Nugraha

Apa hal mengejutkan dari hasil survei Litbang Kompas terbaru periode Januari 2023 yang memiliki nilai berita tinggi?

Jika hasil survei menunjukkan bahwa PDIP masih berada di posisi pamuncak elektabilitas parpol (22,9 persen), itu sudah biasa, bahkan kenaikan sekian persen pun sudah dianggap biasa-biasa saja. Demikian pula jika Gerindra masih bertahan di posisi “runner up” (14,3), turun atau naik, itu pun biasa.

Akan tetapi kalau hasil survei menunjukkan elektabilitas Partai Golkar berhasil menduduki posisi ketiga (9) apalagi berhasil menyalip Partai Demokrat yang semula berada di posisi ketiga, itulah berita!

Di sisi lain, “meroketnya” elektabilitas Partai Nasdem yang angka elektabilitasnya kini mendekati Demokrat, juga menarik perhatian, meski secara keseluruhan parpol yang didirikan Surya Paloh itu menduduki ranking keempat (7,3) atau persis di bawah Demokrat (8,7).

Diperkirakan elektabilitas Nasdem masih akan terus naik sehingga dalam survei berikutnya bukan tidak mungkin bakal menggeser posisi Demokrat atau bahkan Golkar!

Apa makna di balik “penyalipan” Golkar terhadap Demokrat dalam rivalitas menuju Pilpres 2024? Apakah keberhasilan Nasdem yang digadang-gadang tengah membentuk Koalisi Perubahan bersama Demokrat dan PKS tidak lantas mengganggu hubungan mesra “tripartit” ketiga partai ini, khususnya hubungan dengan Demokrat yang angka elektabilitasnya terus dipepet Nasdem?

Dalam konteks kebersamaan, kenaikan elektabilitas sesama anggota koalisi tentu harus disyukuri oleh seluruh anggota koalisi, tidak terkecuali oleh Demokrat. Tetapi di sisi lain, menurunnya elektabilitas Demokrat juga perlu direnungi dan dicari jawabannya.

Tentu menjadi pertanyaan;

  1. Apakah Demokrat “legawa” atas keberhasilan Nasdem yang berhasil memepetnya yang bukan tidak mungkin akan menyalipnya dalam waktu dekat?
  2. Dalam konteks persaingan elektabilitas, bukankah Demokrat juga sedang berlomba-lomba untuk menaikkan elektabilitas partainya, apalagi pada survei yang sama sebelumnya, Demokrat berhasil menjadi tiga besar parpol dengan elektabilitas 14 persen sebelum digeser Golkar?
  3. Dengan terlemparnya Demokrat dari tiga besar -dan yang memepet kedudukannya itu justru Nasdem yang teman sekoalisi- apakah tidak menimbulkan rasa cemburu Demokrat terhadap Nasdem dalam koalisi yang sama?
  4. Bagaimana nasib Koalisi Perubahan ke depan jika di internal koalisi terjadi persaingan elektabilitas yang tajam khususnya Demokrat dan Nasdem mengingat hidup-matinya partai sangat bergantung pada elektabilitas?

Tentu pertanyaan-pertanyaan tersebut baru sekadar asumsi yang perlu dibuktikan kebenarannya. Akan tetapi berhasilnya Nasdem memepet posisi Demokrat dengan kenaikan elektabilitas yang signifikan dalam konteks ilmu jurnalistik jelas menjadi berita politik paling seksi pekan ini.

Memang sangat membetot perhatian tatkala hasil survei menunjukkan, elektabilitas Demokrat turun sebesar 5,3 persen dari sebelumnya 14 persen sehingga menjadi 8,7 persen. Penurunan angka elektabilitas itu lebih besar dari elektabilitas PKS yang 4,8 persen.

Demokrat tentu beranggapan bahwa pencapaian elektabilitas ini bersifat sementara. Akan tetapi jika tidak ada narasi politik yang seksi dan mumpuni sebagai jualan kepada publik, diperkirakan partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono cs ini akan kehilangan gregetnya. Bertumpu pada sosok Agus Harimurti Yudhoyono sebagai ketua umum Demokrat yang masih memiliki daya tarik tinggi, tentu tidaklah cukup untuk memasuki gelanggang Pilpres 2024.

Di sisi lain, elektabilitas Nasdem yang boleh dikatakan “meroket” karena memiliki narasi politik yang seksi, seperti mendukung pencalonan Anies Baswedan sebagai capres secara konsisten, membuat Surya Paloh yang semula galau menjadi semakin percaya diri.

Jelas di sini, Anies telah memberi Nasdem “coat-tail effect” yang membuat elektabilitasnya naik, sesuatu yang tidak diterima Demokrat atau PKS teman sekoalisi, padahal sama-sama mendukung capres yang sama. Tidak adanya deklarasi Demokrat mendukung Anies secara eksplisit (kecuali hanya pernyataan ketua umum atau elit partainya), menjadikan Demokrat tidak memiliki “coat-tail effect” seperti halnya Nasdem.

Kini Surya Paloh lebih percaya diri (pede) bahkan untuk mengatakan “sayonara” kepada pemerintah Joko Widodo, mengingat sejak 2014 Nasdem berada di pemerintahan sampai saat ini dengan menempatkan tiga kader Nasdem sebagai menteri.

Surya Paloh diperkirakan akan semakin giat bermanuver, khususnya mendekati Demokrat dan PKS untuk mewujudkan terbentuknya Koalisi Perubahan yang telah lama digadang-gadang sesegera mungkin. Ia akan semakin menunjukkan rivalitasnya kepada PDIP yang semakin sulit didekatinya.

Benar bahwa secara elektabilitas, Nasdem masih jauh kalau harus “head to head” dengan partai Megawati Soekarnoputri tersebut, tetapi secara kepemilikan capres, boss media itu berada di atas angin karena sudah memiliki “gacoan” bernama Anies Baswedan, sementara PDIP masih belum menentukan capresnya.

PDIP sendiri akan semakin memperuncing rivalitas dengan Nasdem, secara diam-diam atau terang-terangan.

(Sumber: Facebook Pepih Nugraha)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed