Oleh : Sunardian Wirodono
“Tuding-menuding dalam lingkaran, komedi badut-badut,…” begitu nyanyi Leo Kristi dalam Nyanyian Tambur Jalan Komedi Badut-badut (1981). Kemarahan Leo, atas perilaku para elite nasional kita, kayaknya sudah tak terbendung lagi. Dan ia frustrasi, sampai musti bikin merah-putih dalam jajaran genjang atau belah ketupat.
Mungkin tak hanya Leo Kristi yang frustrasi. Tapi, sebetapa parah Indonesia? Kita, setidaknya saya, tidak tahu motif atau niatan para petinggi dalam gerak-geriknya. Karena gerak-gerik bukan gerakan. Agak susah membacanya. Apalagi gerak-gerik tidak punya garis yang linier atau persisten.
Tak jarang zig-zag, sentrifugal, sentripetal, penthalikan, pencalikan, random, dan seterusnya. Tak jelas maunya apa. Kayaknya sih, luput ini tak apa asal kena itu. Atau sebaliknya. Kayak para panipu online, tebar sasaran ngaslak ke calon korban.
Setelah sukses membongkar skenario Sambo, Menkopolhukam terus melaju. Kali ini soal dana Rp300T dalam lingkaran Kemenkeu. Katanya itu laporan dari PPATK. Tapi Menkeu mengatakan dalam laporan PPATK yang diterimanya, tak ada angka itu. Kemudian muncul konperensi pers bersama. Ini bukan kasus korupsi, tapi TPPU, soal pencucian uang.
PPATK kemudian mau menyusuli laporan ke Kemenkeu, yang sebelumnya tidak pakai angka, tapi pada Kemenkopolhukam pakai angka. Dan semua para pihak tadi, ngomong ke media. Sebagai sesama stakeholder pemerintahan, Saudare! Persoalan ini juga menyangkut KPK, yang dinilai lamban. Bayangkan, laporan dari tahun 2003, 2012. Bijimane?
Menurut Mahfud ke media, KPK juga punya masalah lain. Katanya memilih menimbang masalah politik, untuk tidak mengeksekusi masalah korupsi Formula E Jakarta. Karena tidak ingin dituding menjegal pencapresan Anies Baswedan. Konon KPK mendapat ancaman atau tekanan publik. Bukan saja mau didemo massa, tapi juga gedung mau dibakar. Dan seterusnya.
Lain lagi halnya ada orang sebagai ketua IPW, melaporkan Wamenkumham ke KPK, berkait sangkaan suap atau gratifikasi uang Rp7M. Pelaporan itu membuat yang terlapor (bukan Wamenkumham, melainkan salah satu asprinya), melaporkan balik si pelapor ke Kepolisian. Bayangkan, orang yang ada di ranah hukum dan HAM serta lembaga watchdog Kepolisian. Siapa yang amatiran di situ?
Atas nama keterbukaan, kita menikmati semua informasi itu. Kalau ada yang bilang Pemerintah memunculkan segregasi yang menurunkan kadar demokrasi, demokrasi kita betapa sangat liberalnya. Bahkan yang bernama Syahganda Nainggolan, katanya pendukung Anies, bisa bebas ngomong kalau mereka berkuasa mereka akan tangkap Jokowi sekeliuarga dan dibuang di penjara yang mengerikan. Demokrasi kita liberal, serta tak menghargai hukum? Atau sangat liberal karena tak menghargai hukum?
Informasi yang mentah, selalu menjadi kontra-produktif ketika media hanya menyikapi sebagai amplifier para pihak. Media yang dulu berslogan sebagai kekuatan ke-4, kini hanya sebagai kekuatan semacam EO. Penyedia ruangan tanpa pendapat. Katanya, karena etika membedakan antara fakta dan opini. Padal, fakta mestinya diperbandingkan dengan non-fakta (bisa fiktif atau pun fiksi), bukan dengan opini.
Kita tak lagi melihat pers sebagai penyeimbang dalam konteks jurnalisme investigasi, macam Indonesia Raya dan Sinar Harapan dulu. Media bahkan bisa membongkar beberapa kasus korupsi dan manipulasi. Kualitas jurnalis sekarang, menjadi makanan empuk bagi siapapun yang ingin memakai media sebagai TOA.
Di luar itu, ternyata ada pula laporan sebagaimana dilakukan salah seorang yang sudah dideklarasikan sebagai capres. Ia ngomong di sebuah kampus di Australia, juga dalam wawancara dengan ABC belum lama lalu. Bahwa penanganan Covid-19 oleh Pemerintah (Pusat) Indonesia, buruk. Yang baik? Pemerintahan di bawahnya, di DKI Jakarta.
Belum lagi para politikus menjelang Pemilu. Menanggapi mainan Jokowi di Kebumen kemarin, mereka langsung saling klaim dan saling tuding. Padal, sesama partai koalisi Pemerintah. Pemilu, apalagi Pilpres, memang pertaruhan hidup-mati mereka. Kalau suhu memanas dan terjadi polarisasi di kalangan rakyat jelantah, lebih sebagai akibat ulah para elite itu. Karena jarang politikus sekaligus pendidik masalah etik dan moral.
Kasihan Jokowi, ia bekerja sendirian. Tapi begitulah elang rajawali. Terbang tinggi sendirian. Tak perlu koar-koar. Dalam bisu. Dan tak teraba. Beda dengan barisan bebek yang suka jalan berbaris di pematang sawah. Riuh rendah. Lapor-melapor. Tidak tahu perbedaan politik dan hukum. Atau memang sengaja mencampur-adukkannya. Todong-menodong dalam lingkaran: Dor! |
Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono III
Comment