Oleh : Sunardian Wirodono
Di parkiran bawah Bukit Taman Ziarah Yesus-Maria Oebelo Kupang, Temi menjagai mobil kami.
Menunggu yang lain turun, saya ngobrol dengan Temi. Kami merokok dan bercanda. Anak itu ternyata pernah merantau ke Jakarta. Ia menggelandang di Kemang. Anak Jakarta Selatan rupanya. Tapi Cuma setahun.
Ia pulang kampung, ke tanah kelahiran di Baun, Kupang, Nusa Tenggara Timur.
“Kakak tahu kan, Victor Bungtilu Laiskodat?” saya bertanya pada Temi.
“Tahulah, Kak!” sahutnya, dan kami ketawa bersama.
“Pulanglah kalau sudah kaya, kau bisa contoh itu Victor Laiskodat, jadi gubernur!”
“Tak bisa saya, Kakak,…”
“Takut berkelahi, ya?”
Temi bercerita ia melarikan diri dari Jakarta. Berkelahi dengan sesama jalanan di seputaran Kemang. Dan dia kalah.
Saya tak jadi cerita soal Victor Bungtilu Laiskodat, juga Johny G. Plate, anak-anak Timor yang sama-sama masuk ke Partai Nasdem. Partai yang setelah mencanangkan restorasi itu kini mencanangkan perubahan. Restorasinya yang meneketehek itu, mau diubah pula?
“Banyak pula peziarah di sini?” saya mengalihkan perhatian. Melihat lahan yang luas, tapi gersang.
Di atas bukit, tampak Jesus berdiri di atas kubah. Kedua tangannya menaburkan berkah.
“Kau bisa jual apa kek, kerajinan tangan anak-anak Kupang,” kami berdialog lebih lanjut.
Di Taman Ziarah Yesus-Maria itu, hanya ada satu kios menjual lilin dan rosario. Rosario itu kiriman dari Jawa.
“Ini tanah luas tanah kalian, Kakak,…” kata saya kemudian.
“Ini tanah sudah dibeli orang-orang China,” Temi menyahut.
Ada lima kerbau berkeliaran, merumput dengan nikmatnya.
“Kerbau itu milik mereka juga,” lagi-lagi Temi bercerita, seolah tahu yang hendak saya tanyakan.
Percakapan di awal bulan Nopember tahun lalu itu, meruap kembali dalam ingatan, ketika baru saja melihat video Gubernur NTT, agar anak-anak Timor lebih disiplin. Bangun pagi jam 4 dan masuk sekolah jam 5 pagi.
Saya tidak tahu si Nono, anak desa Buraen itu bangun jam berapa, hingga bisa jadi juara satu Abacus Brain Gym tingkat dunia. Saya juga tidak tahu, Victor Bungtilu Laiskodat dulu bangun jam berapa, berangkat sekolah jam berapa, hingga bisa jadi gubernur di tanah kelahirannya?
Saya dan Temi mungkin sama. Sama-sama pernah mengembara di Jakarta. Sama-sama tidak jadi gubernur. Dari jalanan, Victor Laiskodat bisa jadi gubernur, kenapa Temi tidak? Saya, setidaknya tidak dari jalanan banget, kenapa tidak bisa jadi gubernur, di daerah kelahiran saya, di Yogyakarta yang istimewa?
Mungkin Temi perlu bangun lebih pagi lagi. Melatih disiplin. Keras belajar. Jaman nenek moyang kita dulu kala, mereka tidur malam-malam. Bangun malam-malam juga. Mereka tekun belajar dan belajar dan belajar. Hingga jadi raja. Hingga jadi saudagar. Hingga jadi laksamana raja di laut. Mempunyai perahu jung terbesar di dunia pada jaman dahulu kala, jauh sebelum lahirnya AG yang berusia 15 tahun putus-nyambung dalam cinta.
Dan kita dengar himbauan Kak Seto, anak-anak di bawah umur adalah korban. Kita, kata Kak Seto, harus menjadi sahabat anak-anak.
Kak Seto mungkin benar. Tetapi seperti yang lainnya, selalu datang terlambat. Mungkin karena ia juga termasuk yang biasa bangun kesiangan.
Padal Gubernur Victor meyakini bersekolah di pagi hari, jam segitu, jalanan belum macet. Saya ingat, pagi-pagi jam 6 menyusuri jalan Timor Raya, sepanjang 1 kilometer jalan belum ada satu pun warung buka. Dan jalan memang lancar jaya, belum ada kendaraan lalu-lalang.
Dalam pada itu, dulu di Jakarta, jam sekolah diubah agak siangan. Agar tidak bareng dengan jam berangkat para pekerja kantoran. Menghindari kemacetan. Dan hasilnya? MDS tidak jadi gubernur Jakarta. Ia kini jadi tahanan Polisi.
Demikianlah. Anak-anak harus sekolah. Karena, sebagaimana ‘Derai-derai Cemara’ yang ditulis Chairil Anwar tahun 1949;
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono III
Comment