by

Lele Asli Malioboro?

Oleh : R Yuli Kristyanto

Ulasan dan analisis yang menarik pada gambar di bawah. Logis memang, biaya untuk membuka lapak kakilima di tempat strategis semacam Malioboro dan sekitarnya menjadi sangat mahal dengan praktik jual beli semacam itu. Maka jangan heran jika pedagang di tempat pariwisata tersebut kemudian berusaha mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Dengan biaya yang tinggi itu pula maka pedagang kecil asli Jogja (yang hidup dalam lingkungan asli Jogja yang berbiaya rendah) secara alamiah akan tersingkir. Maka jangan heran pula jika banyak pedagang di tempat itu yang mendadak gagal nyambung ketika diajak berbicara dengan bahasa jawa krama alus/inggil ala Jogja asli.

Saya dan keluarga, yang telah bergenerasi lahir dan hidup di Jogja, jujur saja memang memilih untuk tidak makan di kakilima Malioboro dan sekitarnya. Kami juga tidak merekomendasikan keluarga atau mitra kami untuk makan di sana. Lalu apakah kami akan dibilang tidak cinta Jogja? tidak peduli dengan orang-orang Jogja? atau mau dituduh merusak nama baik Jogja/Malioboro?

Kalau indikator tidak mencintai Jogja atau merusak citra Jogja itu adalah dengan tidak merekomendasikan atau tidak memberikan review yang bagus pada makanan kakilima Malioboro, tentu saja konyol dan kekanakan. Kritik dan review dari wisatawan itu justru menunjukkan realita sebenarnya yang harus dibenahi.Mari tunjukkan sikap mencintai Jogja dengan menyebarluaskan tindakan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut agar ditertibkan, agar Pemerintah membuat aturan yang dapat menjaga citra Jogja dari pedagang nakal, agar wisatawan tahu bahwa masih banyak tempat di Jogja yang berjualan dengan jujur, murah, enak, ramah dan menyenangkan. Jogja bukan hanya Malioboro

Sumber : Status Facebook R Yuli Kristyanto

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed