Oleh : Angwar Sanusi
Hari Minggu, atau pagi tadi, sejumlah guru bangsa berkumpul di kediaman Gus Mus di Rembang. Ada Lukman Hakim mantan menteri agama, Omi Komariah istri mendiang Nurkholis Majid, Frans Magnis Susesno, Erry Riyana, Goenawan Mohamad, dan beberapa yang lainnya.
Mereka adalah kaum cendekia, tokoh bangsa dan lintas agama yang dengan kontribusinya selama ini turut membawa bangsa ini bermartabat dan sejuk karena nilai-nilai kemanusiaan yang terus dibawanya. Mereka jarang sekali menonjolkan dirinya untuk tampil di hadapan publik. Namun hari ini tiba-tiba mereka bersuara lantang merespon kondisi bangsa yang mulai carut marut menjelang Pilpres 2024.
Ya, mereka rupanya sangat terpukul melihat demokrasi dirusak sedemikian rupa. Mahkamah konstitusi sebagai lembaga hukum tertinggi yang seharusnya memberkan rasa keadilan untuk masyarakat, justru diobok-obok, dihancurkan.
Omi Komariah bahkan mengaku sedih, kesal, sekaligus marah melihat praktek-praktek tak beradab itu dilakukan dengan vulgar di depan mata. Negara yang mestinya menjadi tempat pengabdian, justru diselewengkan jauh sebagai ajang korupsi, kolusi, nepotisme.
Begitu juga dengan Lukman Hakim, yang menyampaikan pesan Gus Mus, bahwa hari ini kita mengalami krisis nilai. Keresahan yang dialami banyak orang di Indonesa, juga dialami Gus Mus.
Gus Mus mengingatkan, bahwa dalam berpolitik hendaknya tetap mengedepankan nilai-nilai luhur, yakni menjunjung etika dan moral. “Kalau poltik tanpa didasri nilai, azas azas kepatutan, kepantasan, tanpa moral dan etika, hanya sebatas alat untuk saling berebut kuasa saja,” ucap Lukman Hakim menyampaikan pesan Gus Mus.
Sebagai warga biasa, dari jauh aku pun hanya mampu mengucapkan terimakasih kepada mereka, para tokoh bangsa yang tidak berhenti menyumbangkan pemikiran dan tindakannya untuk kebaikan bangsa ini. Kepentingan mereka cuma satu, mengembalikan bangsa ini untuk kembali memegang nilai-nilai yang semestinya. Menegakkan demokrasi, dan memberikan rasa keberadilan untuk semua.
Harus diakui, situasi politik saat ini memang tengah menunjukkan perilaku yang jauh di luar kewajaran. Mungkin cenderung kelam. Bukan hanya Mahkamah Konstitusi yang tersandera, namun juga lembaga lainnya. Belakangan kita melihat sendiri bagaimana Satpol PP merusak baliho Ganjar Pranowo di Bali dan Pematang Siantar, tapi membiarkan baliho Prabowo-Gibran bertebaran di setiap sudut di kota yang sama.
Bahkan aparat kepolisian juga ikut diperintah untuk memasang baliho Prabowo-Gibran. Bayangkan saja, aparat negara yang mestinya memberikan rasa aman pada masyarakat justru dilibatkan dalam politik untuk ikut memihak. Lalu kemana lagi kita mesti mencari rasa aman?
Tapi rupanya, kita masih beruntung, bahwa bangsa ini ternyata tidak pernah kehilangan tokoh-tokoh panutan yang akan terus menebar kebaikan. Sikap mereka, keberanian dan suara lantang mereka, membuat kita yakin bahwa kebenaran selamanya tidak bisa dibunuh.
Sumber : Status Facebook Angwar Sanusi
Comment