by

Tuhan dalam Jabatan

Oleh : Teguh Arifiyadi

Pagi kemarin, kawan yang lama tak pernah bertemu, menyapa saya yang sedang sarapan di kantin bersama teman-teman lab. Dia bilang “tumben pak bos mau makan di kantin.” Saya senyumin saja. Ibu-ibu warung kantin melirik saya, dalam hati mungkin mereka mbathin, “yang tumben ke kantin itu adalah teman saya tadi”. Lha nyaris tiap pagi dan siang saya makan di kantin kantor.

Itu yang dulu pernah saya bilang, menjadi pejabat sekelas direktur itu tidak selalu menyenangkan.

Makan di kantin dibilang pencitraan, ke kantor naik motor dibilang sok-sokan, menyapa ramah tim dibilang cari perhatian, sibuk hingga tidak sempat balas pesan dibilang jumawa, naik mobil kantor untuk antar anak dibilang menyalahgunakan fasilitas negara, tidur di ruangan kerja dibilang makan gaji buta, atau kadang menginap di hotel mewah dibilang menghamburkan duit negara, dan banyak pernyataan lucu lainnya.

Sisi positifnya jadi ASN tukang direktur itu, ia dijamin tidak akan kerasukan jin, dedemit, dan sebangsanya. Konon jin demit hanya masuk pada pikiran manusia yang kosong. Tukang direktur yang ASN itu, bengong saja pikirannya tidak pernah kosong, ada saja masalahnya, setidaknya urusan cicilan bank yang belum lunas, misalkan.

Mungkin, kalau ada orang yang sangat berhasyrat dengan jabatan, ia berharap bisa kaya dengan memegang kekuasaan.

Tapi kalau jabatannya di pemerintahan, ia salah besar. Sekaya-kayanya pejabat pemerintahan, kalau ia tidak menjabat di kementerian para sultan, ia masih melihat daftar harga jika mau makan di resto berbintang.

Eh tapi ada juga sih orang yang meskipun sudah kaya masih berebut jabatan dan kewenangan?

Cek saja para CALeg dan CaKaDa. Mayoritas mereka sudah kaya satu seperempat turunan. Lalu kenapa mereka masih tertarik dengan jabatan dan kewenangan? Mungkin ini sebabnya.

Jabatan dan kewenangan itu adalah ‘kekuasaan mengendalikan’.

orang bisa sekaya apapun, tapi jika ia satu forum dengan pemegang kuasa, tetap yang paling dihormati forum adalah yang paling berkuasa.

Orang kaya bisa membayar orang untuk hormat, orang berkuasa tak perlu membayar untuk dihormati karena kewenangannya.

Intinya kekuasaan dalam hal tertentu itu bisa jadi lebih berharga dari kekayaan. Bedanya kekuasaan itu tidak bisa selamanya dipertahankan, sementara kekayaan mungkin bisa dipertahankan.

Saya kenal seorang mantan pejabat yang sebelumnya adalah pengusaha. Ia jujur bilang “kapan lagi ia bisa pergi kemana-mana setiap hari dengan pengawalan polisi dan leluasa lepas dari kemacetan”. Privelege Card!

Benang birunya, kekayaan bisa ‘membeli’ kekuasaan, dan kekuasaan bisa ‘mendatangkan’ atau ‘mempertahankan’ kekayaan.

Padahal kalau mereka mati, itu semua bakal ditinggalkan dan ditanggalkan. Pertanyaan pertama malaikat template-nya juga mungkin sama.

“Siapa Tuhanmu?” Bukan “Apa Jabatan Terakhirmu?”

(Haish, sudah mulai bawa-bawa tuhan, khas orang Indonesia)

Sumber : Status Facebook Teguh Arifiyadi

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed