Oleh : Harun Iskandar
Rumah masa kecil saya ada 3 buah. Satu, Rumah Buyut dari pihak Ibuk di Jalan Undaan. Rumah Mbah dari pihak Bapak di kawasan Ampel. Belakangan Mbah pindah dari Ampel ke daerah Perak.
Rumah ketiga di pinggir jalan menuju kota Gresik. Jalan Gresik. Termasuk Jalan Raya Daendles. Ini rumah resmi kami . . .
Dalam sebuah kampung kecil. Banyak diisi warga pendatang dari kota atau desa sekitar Surabaya. Beda dengan rumah Ampel dan Undaan, mayoritas asli Surabaya . . .
Cuma ada pagar depan. Samping kiri semacam pagar bambu ndak rapat. Sisi kanan tanpa pagar. Di belakang, halaman kami jadi halaman depan tetangga. Dipisah oleh jalan kampung. Ndak jelas batasnya.
Ukuran kampung cuma 1(satu) RT. Bapak saya yang jadi RT-nya . . .
❤️❤️❤️
Satu kali saya main di halaman belakang. Saya agak ‘𝘬𝘦𝘭𝘢𝘥𝘶𝘬’. Keterlaluan. Kalah eyel2an, malah balas omong jelek pada orang-tua si mungsuh eyel2an. Padahal si orang-tua itu sudah jelas ndak ikut eyel2an.
Bapak dengar. Pintu belakang rumah dibuka, saya dipanggil pulang. Di-interogasi.
Ujung2nya saya dihukum. Disuruh kembali dan minta maaf. Di depan banyak teman dan orang. Belakang rumah saya memang tempat favorit untuk berkumpul. Luas dan terang.
Malunya ndak terkira. Ndak dilaksanakan takut Bapak tambah marah . . .
Sampai sekarang, masih terbayang mimik sinis dan kata2 pedas balasan si orang-tua itu atas permintaan maaf saya. Nyeselnya setengah mati . . .
🙂🙂🙂
Dilain waktu ada masalah dengan teman main satu kampung. Sekali lagi, sak Kampung.
Saya masih dalam waktu belajar dan ngaji, diajak main. Kami bersaudara memang di bolehkan main sampai jauh malam, jika besok libur sekolah.
Tentu saja saya ndak mau. Nanti atau besok malam libur saja.
Eeeh, saya malah ‘disiwak’. Ndak diajak main. Ndak disapa. Termasuk adik dan kakak saya. Dipaksa menyepi dalam rumah . . .
Bapak saya ? Ndak ngurus semua. Dia Banteng sejati.
Dibuatkan macam2 mainan. Ular Tangga, Halma, Karambol, juga diajari main kartu Remi, Ceki, Kwartet, atau yang lain. Bapak memang kreatip. Setiap malam usai ngaji dan belajar, kami bermain bersama Bapak. Ibuk kadang ikutan . . .
Lama kelamaan, hampir 6 bulan menyepi dalam rumah, teman2 yang duluan ajak ‘wawo’. Ajak berbaikan. Panggil2 nama saya. Dari pagar depan atau halaman belakang . . .
😛😛😛
Pernah sekali disuruh Ibuk ke pasar beli Es Cao, Cincau. Mau dikeroyok anak2 dari kompleks Angkatan Laut, sebrang jalan kampung saya. Mereka memang suka tawuran dengan anak2 anggota Brimob, sebelah kampung. Saya dikira Arek asrama Brimob.
Ada 6 orang anak bertubuh lebih gede dari saya yang kecil kurus kerempeng.
Apa yang terjadi ? Heboh sak pasar.
Ada anak kecil kurus gerakkan tangan ke kanan kiri, atas bawah, dengan gaya dewa mabok. Sambil teriak jerit2 dan nangis. Dikepung 6 anak yang lebih gede, yang akhirnya buyar lari.
Apa sebab ? Sebab ‘MD’-nya muncul. Di tangan anak kecil kurus itu tergenggam alat pemotong es batu balok. Sebuah parang besar bergerigi, yang diambil dari becak pengangkut es batu . . .
😛😛😛
Dari sekian tahun kumpul2 bareng Bapak Ibuk itu, saya banyak menyerap dan belajar dari mereka. Banyak sekali . . .
Hormat pada orang lain, berani, punya harga diri, sombong sesekali, jujur, setia kawan, percaya diri, bertanggungjawab, satu kata mulut dan perbuatan, dan lain-lain . . .
Apa berarti saya akhirnya jadi anak atau orang yang ndak pernah salah ? Tetap saja pernah salah, meski ndak terlalu parah. Nyolong duit perusahaan waktu kerja, atau minta komisi proyek, misal.
Pernah, saya lewatkan jadwal nyapu kelas waktu masih SD. Saya lupa ndak kerjakan. Terlalu asyik main ‘baksodor’ sebelum kelas dimulai. Dimarahi Guru. Disetrap berdiri di depan kelas.
Amat menyakitkan dan malu hati, sebab saya biasanya tampil sebagai Murid Kesayangan. Ndak saja pinter, tapi juga imut manis dan penurut . . .
🙂🙂🙂
Jadi, kalau minta pendapat saya, apakah hukuman bagi Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, yang cuma segitu saja sudah layak . . . ?
Cuma dihukum dengan teguran lesan rame2, dan diberhentikan sebagai Ketua, ndak dipecat, sudah cukup . . . ?
Kalau nurut ukuran saya, yang pernah merasa begitu sedih dan malu, disetrap berdiri depan kelas, sebab lupa nyapu kelas, ya sudah cukup . . .
Sebab muka saya masih asli buatan Tuhan. Ada tulang terbalut daging, diberi mata indah beralis berbulu mata, hidung dengan dua lubang, bentuk mulut yang manis kalau tersenyum . . .
Bukan dari bahan anyaman kulit bambu tebal. Gêdhèk.
Andai saya yang jadi Anwar Usman, ndak 𝘏𝘢𝘳𝘢𝘬𝘪𝘳𝘪 atau 𝘚𝘦𝘱𝘱𝘶𝘬𝘶, kayak Samurai Jepang yang merasa ‘𝘸𝘪𝘳𝘢𝘯𝘨’, malu, sudah bersukur.
Disebut melanggar etika dan kepatutan, di dengar dan dilihat orang se Indonesia, bahkan sak dunia, kok tenang2 saja. Ndak malu ndak mundur. Malah ngeyel.
Apa ndak kasihan pada Bapak Ibuknya, ya . . . ?
Sumber : Status Facebook Harun Iskandar
Comment