by

Pak Anwar Usman Pinjam Dulu Seratus Biar Ga Bohong

Oleh : Nikmatul Sugiyarto

Pinjam dulu seratus memang menjadi kalimat yang sedang viral di tanah air. Tak sedikit pejabat dan politisi ikut melemparnya sebagai banyolan dalam berbagai moment. Tanpa terkecuali Presiden Joko Widodo yang membawakan pantunnya, di tengah tamu undangan saat bertandang ke IKN. Ya ujungnya soal duit untuk melancarkan pembangunan IKN.

It’s okey, karena hal itu tampak realistis. Yang nampak aneh itu saat ada banyak bukti kejanggalan putusan Mahkamah Konstitusi soal batas umur capres-cawapres, tapi dibiarkan begitu saja oleh Pak Jokowi.

Aku jadi ingat pemaparan Andi Widjajanto baru-baru ini, tentang Jokowi yang berseberangan dengan demokrasi pasca keluarnya putusan MK dan pencawapresan Gibran. Putusan yang dikeluarkan MK jelas memiliki kejanggalan, tapi Jokowi tetap merestui Gibran menjadi peserta dalam kontestasi pilpres nanti.

Seorang ayah dan seorang pemimpin tidak akan mengambil keputusan yang menjerumuskan rakyat sekaligus anaknya sendiri. Sebagai badan eksekutif, sudah seharusnya tindakan diambilnya dengan tujuan untuk menengahi permasalahan ini. Tapi mengapa Jokowi malah berdiri di pihak yang sangat berambisi mendapat kekuasaan? Justru Jokowi mengikutsertakan anak sulungnya di barisan pemburu kekuasaan.

Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik iparnya, diajak dalam komplotan pemburu penguasa. Dia hakim yang tidak memiliki integritas dan pendirian yang kuat. Dia turut menjadi eksekutor, yang melancarkan jalan Gibran untuk menabrak konstitusi negara. Dan sekarang satu-persatu bukti mulai muncul, memperlihatkan bagaimana kebohongan dari paman Gibran itu.

Absennya di Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) membuat banyak orang mendengus saat mendengar alasannya. Sakit, minum obat dan ketiduran. Katanya sudah jadi hakim dari tahun ’85, masak profesionalnya hanya sekelas ikan teri sih. Memangnya tidak ada istri yang mengingatkan? Kenapa hal itu bisa kebetulan terjadi di waktu krusial?

Publik mulai geram dengan drama yang disuguhkan ketua MK. Seolah semua ucapannya mengandung bualan yang berjilid-jilid. Apalagi saat moment Anwar Usman bilang jabatan itu milik Tuhan. Padahal dia sendiri ikut berperan untuk mendapatkan jabatan keponakannya dengan cara yang salah. Prosedur kotor sebelum keluarnya putusan yang memperbolehkan Gibran menjadi cawapres itu mulai kelihatan.

Mulai dari perbaikan gugatan Almas yang tidak ditandatangani, sampai ke penerimaan berkas gugatan di malam minggu. Tidak perlu menelisik terlalu dalam, karena sekilas saja logika kita bisa menilai bahwa hal itu sudah keluar dari batas wajarnya.

Belum lagi saat pertimbangan putusan keluar dari lisannya, isinya tidak lebih dari pujian dan penilaiannya secara personality. Bagaimana bisa sudut pandangnya sebagai hakim yang dipercaya adil, hanya memposisikan diri pada penilaian subjektif dari seorang fans Gibran saja?

Hal itu jelas sudah menyalahi aturan, kode etik yang menjadi tonggak dalam mengambil keputusan terabaikan karena rasa kekeluargaan. Ya, pantas jika banyak warganet memberi julukan MK sebagai Mahkamah Keluarga karena tindakan Anwar Usman yang berpihak pada keponakannya.

Mengapa tindakan hakim yang dipanggil “yang mulia” ini, tidak mencerminkan jabatan yang diembannya? Keputusannya jauh dari kata adil. Bahkan “yang mulia” ini selalu mengeluarkan statemen yang membawa nama Tuhan dan ayat suci Al Quran. Tapi kenapa yang keluar dari lisannya tidak terimplementasi dalam tindakannya?

Mau pinjam dulu seratus biar bisa berkata jujur demi keadilan, pak? Seperti kakak ipar anda yang membutuhkan CEO untuk kelancaran IKN, Pak Anwar butuh bantuan rakyat untuk melihat keadilan dalam perspektif secara luas.

Orang-orang seperti Anwar Usman ini yang membuat publik memandang rendah integritas hakim, terutama dalam Mahkamah Konstitusi. Nama MK tercoreng dan tingkat kepercayaannya terhadap publik merosot drastis.

Sebagai rakyat biasa dan mewakili massa di luar sana, aku hanya ingin Anwar Usman diberhentikan agar tidak ikut campur dengan dunia politik yang sedang berlangsung. Jangan sampai konflik kepentingan terjadi dan membuat penegakan hukum melemah, tentu hal itu akan menurunkan integritas negara kita.

Karena memang aparat negara cukup menjadi wasit. Bukan ikut campur dalam masalah peserta pilpres sampai mengubah pasal UU Pemilu dan mempengaruhi badan independent lainnya seperti KPU, yang mengabaikan prosedur perubahan aturannya.

Ya semoga dengan terungkapnya bukti-bukti tadi, keadilan bisa jelas nampak di hadapan rakyat. Tidak diselimuti oleh kebohongan lainnya. Dan bagi pelaku utama yang berbuat kecurangan, bisa merasakan balasan setimpal atas kekecewaan rakyat.

Sumber : Status Facebook Nikmatul Sugiyarto

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed