Oleh : Pitoyo Hartono
universitas dan budaya malu, tridharma perguruan tinggi itu tidak istimewa
Beberapa hari yg lalu saya menerima seorang wakil rektor dari sebuah univ. negeri ternama di Jawa yg berkenan berkunjung ke univ. saya.
Dia seorang yg sangat simpatik dan rendah hati. Dia juga masih muda dan berintensi sangat baik utk memajukan institusinya. Saya yakin dia akan menjadi aset yg sangat berharga bukan cuma bagi institusinya tapi juga utk kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia.
Dia datang bersama 3 orang stafnya. Kami berdiskusi ttg penelitian dan pendidikan selama hampir 2 jam dalam suasana yg santai.
Satu hal yg kami bicarakan adalah kewajiban dosen di universitas utk meneliti dan menghasilkan karya ilmiah.
Dia bertanya apakah ada kewajiban itu bagi dosen di universitas di Jepang. Saya jawab, tridharma perguruan tinggi itu ada di seluruh dunia. Tidak digembar-gemborkan dan dirumuskan tertulis, karena memang tidak ada yg patut digembar gemborkan, itu memang fungsi universitas. Jadi meneliti, mempertanggungjawabakan hasil penelitiannya dan menyebarkannya sebagai ilmu baru, itu kewajiban, bagian dari job description dan bagian dari gaji, bukan sesuatu yg “luhur”. Dosen univ. yg tidak meneliti itu seperti sopir taksi yg menolak utk mengemudikan taksinya.
Dia bertanya lagi: kalau kewajiban meneliti itu tidak dilaksanakan, apa hukumannya?
Saya jawab: tidak ada hukuman dari universitas. Ini tidak perlu, karena adanya budaya malu. Seorang peneliti univ. di Jepang, wajib utk menyelesaikan s3 nya sebelum mereka melamar kerja. Mereka orang2 terdidik dan mematri budaya malu itu bagian dari pendidikan panjang mereka. Mereka akan malu utk menerima gaji tapi tidak melaksanakan kewajibannya. Tentu ada anomali, tapi budaya malu ini sudah cukup utk mengkontrol pelaksanaan kewajiban, tanpa perlunya hukuman.
Ada satu prof. di univ. saya, yg beberapa tahun lalu mengundurkan diri 5 tahun sebelum usia pensiun. Dia mengundurkan diri karena merasa tidak lagi bisa bersaing dalam penelitian di bidangnya, dan lebih baik mengosongkan posisinya agar bisa diisi oleh generasi berikut yg lebih bisa bersaing di garda depan penelitian.
Belasan tahun lalu, beberapa hari setelah saya diangkat menjadi prof. pada usia 41, saya dipanggil oleh seorang prof. senior utk ngobrol santai. Dia berkata, “kalau kamu membuang pride-mu sebagai akademisi, dan membuang rasa malumu sebagai manusia, tidak ada pekerjaan yg lebih gampang dari menjadi prof. di Jepang. Tanpa menghasilkan karya akademis, kamu bisa makan gaji buta (yg lumayan) selama sekitar 1/4 abad sampai kamu pensiun. Univ. ini yakin kamu tidak akan bertindak seperti itu. Tapi ya terserah kamu”.
Dosen2 ini menjadi akademisi karena pilihannya sendiri. Tidak ada yg memaksa mereka utk menjadi dosen. Mereka bukan budak apalagi hewan sirkus yg perlu diancam dng hukuman utk melakukan sesuatu yg mereka pilih sebagai profesinya. Hukuman hanya perlu utk orang yg melanggar etika pendidikan dan penelitian, seperti menyalahgunakan dana penelitian, melakukan plagiasi dan fabrikasi. Tidak akan ada peringatan berkali2 kalau ini dilakukan. Kalau terbukti hukuman adalah pemecatan, dan orang itu selanjutnya akan menjadi pariah abadi di akademia.
Saya katakan padanya, univ. di Indonesia kebanyakan slogan dan aturan remeh-temeh, tapi miskin esensi.
Saya harap orang seperti dia akan membawa angin baru. Semoga dia tidak ambruk dihantam orang2 yg ingin menjaga status quo.
Sumber : Status Facebook Pitoyo Hartono
Comment