Oleh : I Made Andi Arsana
Saya mendengar, ada seorang mahasiswa baru di Teknik Geodesi UGM yang UKTnya diturunkan hingga menjadi NOL. Saya ingin mendengar langsung dari orangnya, maka saya telusuri asal usul anak ini. Namanya Muhammad Firdaus Ar Riza dan biasa dipanggil Riza. Saya akhirnya mendapatkan nomor HPnya dan saya kirimkan WA. Kami janji bertemu di kampus. Saya ingin menyimak cerita lengkapnya.
Riza datang ke kampus, diantar oleh temannya. Sikapnya baik. Anak ini santun. Cara bicaranya juga cukup tertata. Ternyata Riza adalah ‘korban’ perceraian. Yang lebih tragis, ayahnya meninggal beberapa hari setelah perceraian itu dinyatakan sah. Secara bijak, Riza tidak menceritakan salah dan benar kedua orang tuanya. Bagi dia, itu sebuah pukulan bagi seorang anak.
Ketika dinyatakan lulus Teknik Geodesi dan melakukan registrasi, Riza dalam keadaan terpuruk. Ibunya tidak bekerja dan ayahnya sudah tiada. Maka di situ dia mengisi penghasilan orang tuanya NOL dan ini nampaknya menimbulkan ‘pertanyaan’. Bisa jadi, ini nampak tidak masuk akal bagi petugas di UGM yang menentukan besaran UKT. Tentu saja, UGM tidak mengetahui rincian cerita kehidupan Riza yang begitu tragis.
Ternyata Riza mendapatkan besaran UKT yang tidak diharapkannya. Panik dengan nilai UKT yang tidak terjangkau, Riza berjuang mencari cara. Dia dibantu Bhimo, kawan SMA-nya yang juga Maba UGM untuk mencari jalan keluar. Akhirnya Riza dan Bhimo memutuskan untuk bertemu langsung dengan Sekretaris Departemen (Sekdep) Teknik Geodesi UGM. Meski tanpa janjian, Pak Sekdep berkenan bertemu. Di situlah segalanya dikisahkan oleh Riza. Atas persetujuan Ketua Departemen, akhirnya diputuskan Riza mendapatkan UKT NOL, alias tidak membayar sama sekali.
Saya menyimak cerita Riza dengan saksama. Sekali waktu matanya berkaca-kaca, terutama saat menyinggung kematian ayahnya. Kini Riza tinggal sendiri di Jogja karena ibu dan adik-adiknya pindah ke Jakarta. Rumah yang ditinggalinya bersama ayahnya terpaksa dijual untuk menutup hutang keluarga. Riza tinggal sebatang kara di Jogja, menumpang di rumah saudaranya. Dia memulai segala sesuatunya dari nol. Dia berharap, Teknik Geodesi akan menjadi babak baru bagi masa depannya.
Saya sempat bertanya soal keterampilan yang dimiliki Riza. Mungkin dengan itu dia akan bisa mendapat peluang rejeki. Dia mengatakan tidak mahir soal komputer karena memang tidak punya komputer sendiri dan harus berbagi dengan adiknya. Riza masih sempat bertanya soal spek komputer yang tepat untuk mahasiswa geodesi. Dia membayangkan dia harus membeli laptop, meski belum ada gambaran, dari mana uang untuk membelinya. Saya kagum melihat semangatnya di tengah keterpurukan.
“Saya benar-benar merasa ditolong UGM, Pak” katanya. “Saya nggak tahu gimana jadinya kalau UGM tidak memberi keringanan ini” sambungnya. Di akhir pembicaraan kami, Riza harus beberapa kali berhenti dan menata dirinya. Dia tidak kuasa membendung rasa sedih dari dalam dirinya. Matanya berkaca-kaca dan suaranya terbata. Sore itu, saya melihat lagi apa yang saya percaya dari UGM. UGM tetap menjadi tempat bagi mereka yang kurang beruntung hidupnya secara ekonomi.
Saya juga tahu, ada yang merasa UKT-nya terlalu tinggi. Di sisi lain, UGM menghadapi situasi rumit ketika harus menolong anak bangsa sambil membiaya semua proses pendidikan dengan pendanaan yang tidak leluasa. Cerita Riza membuat saya percaya, UGM masih bersedia mendengar meski dengan kehati-hatian. UGM tentu tidak bisa mengabulkan semua permintaan. Saya berterima kasih pada mereka yang bersedia membayar UKT tinggi, yang sesunguhnya berbuah baik bagi orang-orang seperti Riza. Ada banyak Riza lain yang memerlukan uluran tangan.
Doa saya untuk Riza dan teman-temannya. Sekarang, you might be nobody. Someday, bersama UGM, you can become somebody! Di saat itulah, Riza semestinya menjadi penolong, membangun ‘jembatan’ bagi anak-anak nobody agar bisa bertransformasi menjadi somebody. Seperti kata Bung Karno, Gadjah Mada adalah mata air. Kelak, kita tinggalkan Gadjah Mada ini bukan untuk mati tergenang dalam rawanya ketiadaan amalan atau kemuktian diri sendiri. Kita akan mengalir ke laut pengabdian kepada negara dan tanah air, yang berirama, bergelombang, dan bergelora. Semoga.
I Made Andi Arsana
Comment