by

Cermin Indonesia yang Waras

Oleh : Pitoyo Hartono

cermin Indonesia yg waras: menembus sekat, menyebarkan kewarasan, harapan utk tibanya bonus demografi

Setelah hampir tiga minggu memberikan belasan kuliah dan kuliah umum di beberapa universitas di berbagai kota termasuk 1 kuliah umum panjang di BRIN, Rabu lalu saya tiba pada akhir rangkain kuliah saya tentang logika dasar di satu univ. di Jakarta. Di univ. ini selama tiga hari saya mengajar ttg dasar logika, termasuk apa itu argumen, bagaimana cara menilai validitas satu argumen dengan contoh2 nyatanya. Saya juga memberikan contoh2 kesalahan logika (fallacy), dengan bukti matematisnya bahwa fallacy2 ini tidak valid.

Saya juga menekankan bahayanya menegasikan (menyangkal) statement seseorang kalau kita tidak bisa “membunyikan” sangkalan itu sendiri. Menyangkal sesuatu memerlukan proses logika yg valid. Banyak orang tidak bisa membunyikan negasi statement sederhana misalnya “Kalau seseorang berolah raga dan cukup tidur dia akan sehat”. Atau “Semua WNI beragama”.
Saya katakan pada mereka, bahwa seseorang tidak berhak menyangkal orang lain, kalau orang itu tidak tahu negasi dari proposisi yg disangkalnya. Ini hanya menimbulkan debat kusir yg nggak mutu.

Saya tanya pada mereka kenapa debat2 di DPR banyak yg nggak mutu dengan argumen2 yg ngaco dan ini dibiarkan bergenerasi-generasi? Mereka tidak menjawab. Saya katakan bahwa bukan saja para wakil rakyat ini tidak mempunyai logika yg bermutu, tapi juga karena kebanyakan warga Indonesia tidak cukup mempunyai pengetahuan dan ketrampilan berlogika utk menunjukkan secara spesifik di mana “mencongnya” logika para anggota dewan yg terhormat itu. Fenomena ini juga sama dengan banyaknya orang yg mau mendengarkan manusia2 nrocos kosong macam Rocky Gerung. Ini hanya dapat dikoreksi kalau orang-orang terdidik mempunyai pengetahuan logika yg baik. Saya katakan bahwa salah satu tugas orang2 yg beruntung untuk mengenyam pendidikan tinggi adalah mengkoreksi semua carut marut ini dengan intensi dan cara yg baik. Untuk itu mereka harus mempunyai pengetahuan yg baik juga.

Logika tidak datang dari langit, ini harus diajarkan. Berapa banyak orang Indonesia terdidik yg bisa menerangkan mengapa dari asumsi dua proposisi “kalau hari ini hujan maka kelas libur” dan “hari ini kelas libur”, kita TIDAK dapat menarik kesimpulan bahwa “hari ini hujan” ?

Banyak orang yg sering ngecap “ngomong harus pakai data!”. Memang benar data penting untuk menarik kesimpulan, tapi ini baru setengah cerita. Kita perlu menarik kesimpulan bukan saja dari data yg valid, tapi juga dari argumen yg valid. Sebagus2nya mutu data, kalau proses selanjutnya ngaco, kita akan tiba pada kesimpulan yg bobrok.

Saya beri satu contoh, Nicolaus Copernicus, bertahun-tahun mengumpulkan data ttg posisi relatif planet Merkurius, Venus dan Mars dari pengamatan dari bumi. Ini data. Tapi kontribusi terbesarnya bukan itu. Dari data tsb dia melakukan inferensi logika dan matematis yg valid utk tiba pada kesimpulan bahwa planet2 tsb dan bumi mengorbit matahari dng orbit elipsoidal!
Tanpa proses argumen yg baik, data itu tidak berarti apa2.
(BTW, minggu sebelumnya saya mengajar di satu univ. negeri yg katanya sekitar rangking 4-6 di Indonesia. Waktu saya tanya pada para mahasiswa/i, termasuk yg duduk di paska sarjana, siapa Nikolaus Copernicus, nggak ada yg menjawab. Pantas banyak penganut bumi datar di RI).

Di akhir kuliah, dosen univ. ini meminta mahasiswa/i utk maju kedepan utk merangkum apa yg sudah mereka dapat dari kuliah tiga hari ini. Dari seratus lebih peserta, hanya dua yg maju.
Satu seorang mahasiswi berhijab yang baru masuk univ. ini tiga hari yg lalu, dan satu seorang mahasiswa tionghoa tahun kedua. Saya biasanya tidak peduli akan karakter fisik apalagi agama murid saya, tapi saya merasa ini adalah moment yg perlu saya bingkai.

Mahasiswi ini yg ngomong pertama. Dengan sangat percaya diri dan logika yg sangat runut, dia menceritakan apa yg sudah dipelajarinya selama tiga hari ini. Dan menutup ceritanya, dengan sesuatu yg luar biasa. Dia mengatakan bahwa dia akan belajar keras, dan setelah beberapa tahun, dia berencana akan membuat semacam aplikasi yg secara otomatis menangkap debat di DPR dan menghitung berapa persen argumen mereka yg valid dan menyebarkannya pada rakyat Indonesia.
Si kakak kelas yg berbicara setelahnya mengatakan bahwa dia juga mempunyai ide yg sama, dan mengatakan pada adik kelasnya: “kenapa kita tidak bekerja sama?”
(Setelah saya keluar ruangan mahasiswi ini datang utk menyalami saya, dia tanya kapan kita bisa belajar bersama lagi? Anytime Mbak! Malamnya, si mahasiswa kakak kelasnya mengirim email yg cukup panjang pada saya. Dia tanya kapan saya pensiun dr univ. di Jepang dan mengajar dia 😆. Saya katakan bahwa saya tidak perlu pensiun dulu utk belajar lagi bersama dngnya. Dan mungkin dalam beberapa tahun ke depan dia yg akan memberi pengetahuan baru pada saya).

Ini membuat saya yg jarang tersenyum di dalam kelas, nyengir (mungkin cuma dalam hati). Ini adalah ripple effect yg saya tunggu2, bahwa anak2 muda Indonesia menyingkirkan segala sekat perbedaan dan menyebarkan kewarasan utk negaranya. Dan saya senang bahwa ini terjadi dalam kelas ttg matematika.

Ini adalah cermin Indonesia yg waras dan harapan utk datangnya bonus demografi.

Sumber : Status facebook Pitoyo Hartono

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed