by

Memilih Presiden

Oleh : Ramadhan Syukur

GUE gak terlalu tertarik dengan urusan khianat berkhianat. Dalam dunia politik itu biasa aja. Sudah bagian dari jalan hidup mereka.

Khianat urusannya gak jauh-jauh dari dunia penjahat. Dunia kriminal. Dalam film-film sudah banyak digambarkan bagaimana para penjahat yang semula bersahabat akhirnya saling berkhianat. Saling menghabisi. Dan penonton biasanya senang. Senang kalau para penjahat saling bunuh dan akhirnya mati semua.

Buat gue yang menarik dari ribut-ribut Ahaye dengan Aerbe, bagaimana reaksi bapaknya Ahaye yaitu Esbeye. Reaksi seorang bapak yang selalu ada untuk anaknya dalam keadaan senang apalagi susah.

Bayangkan, anak sudah sebesar itu. Sudah beristri dan juga sudah punya anak pula, ketika mengalami kesulitan, bapaknya yang gak tegaan selalu siap menjadi garda terdepan. Siap sebagai pemecah masalah. Entah sebagai juru bicara atau sebagai penyambung lidah anaknya yang tiba-tiba kelu, gak bisa ngomong apa-apa dan terbaring lemah gak berdaya.

Sebagai orang Minang, gue belum pernah melihat sikap bapak yang sayang anak luar biasanya kayak gitu. Termasuk yang dilakukan bapak gue.

Orang Minang jadul memiliki prinsip yang dulu buat gue aneh. Prinsip itu termaktub dalam falsafah gak tertulis yang berbunyi (terjemahannya) ‘Sayang anak dilecut atau dicambuk, sayang kampung ditinggalkan’.

Sayang anak dilecut atau dicambuk, bermakna anak gak boleh dimanja. Karena suka atau gak suka kelak si anak harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Istilah presiden pertama RI, Bung Karno, berdikari. Anak gak boleh melulu berada di bawah ketiak dan bayang-bayang orang tua. Apa apa diurusin dan dibelain. Seakan-akan bapaknya lupa kalau si anak juga punya otak.

Sebagian besar orang tua Minang jadul angkatan babe gue memang harus rela dan tega melepaskan anaknya menuntut ilmu kemana pun mereka mau. Sekolah jauh dari orang tua dengan biaya hidup secukupnya, sekali pun orangtuanya berada.

Kemudian sayang kampung ditinggalkan, bermakna ketika si anak sudah dewasa, bagi laki-laki diajari untuk memahami dunia luar. Caranya disuruh pergi merantau dalam arti meninggalkan kampung halaman, yang juga bermakna meninggalkan pemikiran kekanak-kanakan menuju pemikiran kedewasaan.

Tapi itu dulu ya. Jaman orangtua masih susah. Setelah anak-anaknya berhasil dan sukses jadi orangtua kaya raya tajir melintir apakah akan melakukan hal yang sama ke anaknya lagi?

Buat gue yang gak kaya-kaya amat masih melakukan hal yang sama. Malah anak gue sendiri yang kepingin pergi sejauh-jauhnya.

Apa anak gue gak betah di rumah karena gak suka dengan bapak gaya jaman sekarang yang sibuk ngomongi masa lalu? Enggaklah. Karena kalau dia butuh diskusi atau bertukar pikiran sama gue selalu dia ngajak vidcall, misalnya.

Gue gak pernah mau ikut campur urusan anak gue. Gak pernah nyuruh dia keluar dari ketentaraan, terus gue paksa nyalon jadi gubernur. Gue atur sedemikian rupa biar bisa jadi ketua partai. Dan gue usahain banget dia kelak bisa jadi presiden seperti gue. Atau minimal jadi wakil presiden.

Lho, maaf, itu bukan anak gue ya. Anak gue sih memilih jadi dokter. Dan itu murni pilihannya sendiri. Gak ada campur tangan gue bapaknya. Sori melenceng.

Lihat gambar Esbeye di rumah sakit sambil memegang kepala anaknya yang shock ditinggal pasangannya di saat sedang sayang-sayangnya, sebetulnya gue terharu. Betapa sayangnya Esbeye pada anaknya.

Jujur, adegan kayak gitu pernah juga dilakukan bapak gue ketika gue terbaring sakit, dengan bahu digips karena tulang bahu kiri gue patah setelah jatuh dari ketinggian. Bukan karena gue stres gak mendapatkan apa yang bapak gue inginkan.

Andai gue Ahaye dan bapak gue Esbeye, mengalami cobaan berat kayak gitu itu, paling yang gue ingat pepatah lain dari bapak gue yang terjemahan bebasnya “saat terkurung berusahalah keluar, saat terhimpit berusahalah ke atas.”

Pepatah tersebut mengajarkan kepada kita bahwa kegagalan apapun harusnya membuat kita semakin keras mencari pemecahannya. Dan meskipun terjepit, teruslah berjuang mencoba mencari celah agar bisa keluar dari masalah yang terjadi. Contoh konkrit, lihatlah Jokowi mengatasi berbagai masalah. Itu Minang banget.

Begitulah parenting orang Minang jadul menterjemahkan sayang kepada anaknya. Di setiap daerah gue yakin pasti ada begitu banyak parenting (pola asuh) lokal bagaimana mendidik anak jadi mandiri dan hebat.

Ayo bangkit Ahaye. Jangan cengeng. Jangan manja. Jangan mengandalkan bapakmu melulu. Jangan malu walau harus dimulai jadi ketua RT kayak gue dulu. Pokoknya buat hidupmu jadi manis walau tanpa Anies. Tapi jangan kebanyakan, nanti diabet.

Sumber : Status Facebook Ramadhan Syukur

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed