Oleh: M. Arief Wibowo
Menulis tentang peradaban Melayu, apatah lagi Melayu Kuno, bukanlah sesuatu yang mudah.
Masalahnya definisi siapa itu orang Melayu cukup berbeda dari orang Jawa atau Sunda. Di kebudayaan Jawa atau Sunda, seseorang disebut bersuku Jawa atau Sunda kalau kedua atau salah satu orang orang tuanya juga bersuku Jawa atau Sunda dan ia masih menjalankan kebudayaan Jawa atau Sunda.
Di kebudayaan Melayu tidak begitu. Setidaknya terdeteksi sejak era kesultanan Riau-Johor, para sultan Riau-Johor yang luas daerah kekuasaannya dan menjalankan politik akomodatif terhadap rakyatnya menyatakan bahwa, tak peduli apa suku asalnya, sesiapa saja yang beragama Islam, berbahasa Melayu, dan menjalankan kebudayaan Melayu dalam kehidupannya sehari-hari akan dianggap Melayu.
Oleh karena itu saat itu ada istilah “Masuk Melayu”. Sebagai contoh, sesiapa saja orang Dayak yang masuk Islam dan memenuhi syarat-syarat di atas akan dianggap menjadi orang Melayu. Oleh karena itu, akhirnya definisi Melayu memayungi dan mencakup orang-orang yang bersuku bukan Melayu. Melayu akhirnya menjadi sebuah fenomena kebudayaan, bukan cuma kesukuan.
Di Malaysia yang kesultanan-kesultanan Melayunya masih tegak berdiri, kebijakan di atas masih dilanjutkan hingga sekarang. Di dalam Konstitusi Negara Federasi Malaysia, pasal 160, disebutkan bahwa orang Melayu ialah “orang yang memeluk Islam, secara kebiasaan berbahasa Melayu, dan mengikuti adat resam Melayu”. Itulah sebabnya, orang Jawa, Bugis, Makassar ataupun orang-orang dari suku lain di Indonesia yang sudah lama menetap di Malaysia, menjadi warga negara sana, dan beragama Islam sering disebut sebagai orang Melayu.
Dalam sejarahnya, beberapa sultan di luar daerah yang umumnya disepakati sebagai daerah inti Melayu pun pernah menyatakan bahwa negeri yang mereka pimpin ialah negeri Melayu, seperti Aceh dan Minangkabau. Tapi adakalanya pula sultan-sultan dari daerah tersebut menyatakan daerah mereka bukan Melayu.
Bagaimana dengan identitas Melayu di zaman pra-Islam? Setiap kali catatan Tiongkok menyebutkan tentang “mo lo yu” atau prasasti-prasasti di Nusantara menyebutkan tentang “malayu”, tampaknya yang dimaksud dengan Malayu / Melayu ialah suatu sabuk daerah yang merentang dari Jambi hingga Dharmasraya. Sebagai contoh, ketika raja Jawa, Krtanagara, mengirim arca Amoghapasa untuk raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa yang berkedudukan di Dharmasraya, Krtanagara menyebut negeri yang dipimpin Tribhuwanaraja sebagai “Bhumi Malayu”.
Di sisi lain, orang-orang Sriwijaya yang bahasanya sama dengan bahasa orang-orang Bhumi Malayu tidak pernah sekalipun menyebutkan dalam prasasti mereka bahwa mereka ataupun bahasa mereka ialah Melayu. Bahkan, Melayu ialah salah satu daerah yang akhirnya pernah dikuasasi Sriwijaya sejak Sriwijaya terbit dari Palembang.
Keterbatasan definisi Melayu pra-Islam ini tampaknya bertahan setidak-tidaknya hingga era kesultanan Malaka. Di Hikayat Hang Tuah, Hang Tuah menyebutkan bahwa di Malaka, selain tinggal orang-orang Melayu, tinggal pula orang-orang Majapahit. Artinya, orang Jawa / Majapahit pada saat itu belum dianggap Melayu.
Dari pembahasan ini, jelas bahwa Melayu ialah suatu identitas yang mengalami dinamika dan perluasan dari masa awal hingga sekarang. Apa implikasi ini pada studi tentang evolusi peradaban Melayu seperti yang tengah saya lakukan? Implikasinya ialah tidak mudah menarik suatu benang merah tentang peradaban Melayu dari masa awal hingga sekarang, karena batasan teritorinya dan para pengusung kebudayaannya selalu bergerak.
Itu belum lagi membahas bahwa meski peradaban Melayu tumbuh besar di tanah Sumatera dan Semenanjung Melayu, bahasa dan para penutur awal bahasa Melayu di era prasejarah justru diketahui berasal dari barat Kalimantan, berdasar riset-riset linguistik yang terakhir dilakukan, sebagai bagian dari migrasi Austronesia.
Hal di atas amat berbeda dengan peradaban Jawa dan Sunda. Sedari era Hindu-Buddha hingga saat ini, daerah inti peradaban Jawa dan Sunda hampir selalu ajeg dengan sedikit area ‘buffer’ di antaranya. Sunda berada di pulau Jawa sisi barat Sungai Cipamali, sementara Jawa berada di sisi timurnya.
Meski demikian, studi tentang Melayu tetaplah merupakan sebuah hal yang menarik dilakukan. Di buku saya, selain membahas perkembangan identitas Melayu dari masa awal hingga Islam, saya juga akan membahas sepak terjang kerajaan-kerajaan kuno berbahasa Melayu. Semoga buku itu bisa saya selesaikan.
Referensi:
– Buku “The Malays” oleh Anthony Milner
– Buku ” The Austronesian Languages of Asia & Madagascar” oleh Alexander Adelaar
– Manuskrip kuno Tiongkok “Zhu Fan Zhi” yang ditulis Zhao Rukuo
– Buku “Nusantara dalam Catatan Tionghoa” oleh W.P. Groeneveldt
Sumber : Status Facebook M Arief Wibowo
Comment