by

SBY – Jokowi

Oleh : Muhammad Ilham Fadli

“Jokowi Presiden yang Nggak Baca Buku dan Nggak Pernah Demo, Jangan Bandingkan dengan SBY, Jauhlah!”.

“SBY sosok Jenderal yang terdidik. Tidak hanya itu, bicaranya pun terukur. Seorang Presiden produktif dan inspiratif pada masanya”, demikian cuitan seorang politisi dala unggahan Twitternya.

Tiga hal :

Pertama, SBY dan Jokowi adalah figur hebat. Orang-orang pilihan di Indonesia. Kalau tidak, mana mungkin mereka jadi nahkoda negeri ini. Bahkan menjadi Presiden dua periode, bahkan. Artinya, ini menjadi ukuran yang tak terbantahkan tentang ketokohan mereka.

Dua, ada istilahnya “politik belah bambu”. Satu diangkat, satu lagi diinjak. Ketika yang satu dikatakan suka tertawa, maka pesan yang ingin disampaikan untuk pembandingnya adalah suka cemberut. Bila yang satu dianggap hebat, maka berarti yang satu lagi sebagai pembanding, dipandang goblok. Pesan pasti seperti itu yang sampai ke publik. SBY jenderal terdidik, suka baca buku, bicaranya terukur dan seterusnya yang wah, luar biasa dan menginspirasi. Maka, Jokowi, tentu tidak seperti itu. Bisa jadi, kebalikannya. Publik akan mengangkat pesan seperti itu. Hal ini biasa. Ketika SBY jadi Presiden di periode pertama, apa yang berlaku pada Jokowi pada saat ini, juga terjadi pada SBY kala itu. Lamban, lembek, aristokratik …. “untung ada Jusuf Kalla” dan sebagainya. Di periode ke-2, tak usah ditanya. Banyak sinisme yang diarahkan pada suami tersayang (almh.) Ani Yudhoyono ini. Apatah lagi, di akhir pemerintahannya, ketika Jokowi, suami terkasih Iriana itu, sedang jadi “rising star”. Jadi headliane berbagai media massa sekitar 2012/2013. Jokowi dipandang (kelak) jadi tipe ideal pemimpin bangsa. Bertolak belakang dengan SBY. Jokowi merakyat, SBY kayak orang “istana”.

“Maksudnya Jokowi itu tak pernah demo, artinya, apakah ketika jadi mahasiswa, beliau orang biasa saja ? … tidak jadi aktifis ?”

Maka, yang keTiga :

Mari kita tengok kisah Presiden Soekarno. Kolonel Tahi Bonar (TB) Simatupang, dalam bulan Desember 1948, pernah menyarankan Soekarno-Hatta meniru Jenderal Soedirman – ikut perang gerilya. Soekarno-Hatta, tidak memberikan tanggapan.

Penakutkah dan tidak cukup tangguhkah Soekarno-Hatta ?

Dalam sejarah, Dwi Tunggal ini tidak tercatat seperti Ho-Chi Minh, Fidel Castro, Che Guevarra maupun Mao Ze Dong, tersuruk puruk dalam kancah perang panjang yang sengit. Walau tidak demikian, rakyat mencintai mereka berdua, bahkan memuja. Mungkin rakyat Indonesia tahu, bila hanya dengan bedil, kita sudah habis sebelum umur 35, meminjam istilah GM.

“Lalu ?”.

Dua hal (pula).

Satu, interaksi politik itu, adalah permainan. Permainan sudah dimulai. Sudah mulai memanas. Puji julang dan sinis, mulai bertebaran. Sesuatu yang berlaku pada periode sebelumnya dan akan terus seperti itu, bila politisi tetap melakukan pola seperti ini. Jadi, itu biasa saja.

Dua, dalam kajian historiografi, kita harus melakukan kritik …. “siapa yang menyampaikan pesan”. Fokus pada penyampainya, bukan (selalu) pada isi pesannya”. Tak mungkin ia memuji tokoh yang dianggap sebagai lawan (mereka) tersebut. Ia tak akan memuji kompetitornya itu. Ibarat meminta sisik kepada lele, istilah orang-orang dahulu. Mustahil.

Mengapa ?

“Karena ia sedang melaksanakan tugasnya !”.

Semoga Pak SBY dan Pak Jokowi, sehat selalu.

“Manusia hanya suka menghitung kesulitannya. Ia tidak menghitung kebahagiaannya”, demikian tulis sastrawan Rusia F. Dovtoyevsky.

Sumber : Status Facebook Muhammad Ilham Fadli

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed