Oleh : Mohammad Shofan
Secara historis, gagasan formalisasi melalui Perda Agama (Perda Syariah) dalam politik kenegaraan bukanlah hal baru. Dulu umat Islam memperjuangkannya secara serius,menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yang di kemudian hari menjadi tonggak historis bagi kalangan penuntut ide formalisasi Syariat Islam.
Dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, harus kita baca sebagai pengorbanan besar umat Islam sekaligus kemenangan secara moral, yang menunjukan bahwa umat Islam memiliki kontribusi besar dan tujuan yang baik bagi terbentuknya sebuah bangsa yang plural dan berbhineka. Menghidup-hidupkan kembali Piagam Jakarta, sama halnya membuka peluang-peluang baru bagi pegiat Islamis untuk melakukan politik pemanfaatan atas nama agama.
Tak patut kiranya, Islam yang universal diturunkan menjadi ideologi. Fakta mengajarkan, logika kepentingan sering kali justru lebih dominan ketimbang logika ketulusan di balik penghadiran agama dalam ruang publik. Mitos bahwa penerapan syariah dapat ditegakkan, kesatuan umat (pan-islamisme) dapat digalang, jihad dapat dilaksanakan, tegaknya pemerintahan Islam, mampu memberantas segala bentuk korupsi, kriminalitas, kemiskinan, dekadensi moral, dan persoalan lain harus segera diakhiri.
Itu semua omong kosong belaka. Hanya ada dalam mimpi. Pandangan-pandangan tersebut lebih banyak meninabobokan, seperti mimpi di siang bolong. Dengan berkedok agama, mereka sesungguhnya menunjukkan ketidakmampuannya dalam merespon makna zaman. Faktanya: pemberlakuan syariat Islam yang konon secara “kaffah” itu diberbagai belahan negara Islam justru lebih banyak menimbulkan distorsi dan kejahatan kemanusiaan ketimbang memunculkan sebuah peradaban manusia yang egaliter, demokratis, berkeadilan, dan manusiawi.
Sumber : Status Facebook Mohammad Shofan
Comment