Oleh : Nana Padmosaputro
Pencapaian spiritualitas tidak bisa diperoleh hanya dengan MENJADI MEMBER aliran tertentu atau agama tertentu.
Spiritualitas adalah PRAKTEK HIDUP. Bukan membership di sebuah kelompok tertentu. Apalagi sekedar mengucapkan mantra janji atau kalimat pernyataan lalu memakai baju ‘seragam’ keanggotaan. Spiritualitas tidak memiliki identitas fana berupa pakaian tertentu, atau nama khas tertentu, apalagi sekedar catatan nama dalam sebuah formulir atau kartu identitas.
Sekali lagi, spiritualitas adalah perilaku nyata. Perbuatan dan perkataan yang dilakukan sehari-hari, dan bersumber dari pikiran dan perasaan yang spiritual.
Kalau praktek hidup kita belum menjadikan kita manusia yang damai, pengasih, tenang, pemelihara segala yang hidup, bahagia dan penuh cinta… ya artinya belum menjadi spiritualis.
Karena itulah, spiritualitas itu dinamis. Bisa naik dan turun, bisa membaik dan memburuk, terus berproses. Bukan status atau keadaan yang statis : begitu kita ‘memilikinya’ maka itu akan berlangsung selamanya. Tidak. Spiritualitas adalah kesadaran dan keseimbangan yang terus menerus perlu dilatih, dijaga, dan dirawat.
Tidak ada keseragaman dalam spiritualitas. Tidak ada juklak (petunjuk pelaksanaan)nya. Tidak ada kewajiban yang membelenggu. Semua pertimbangan untuk berbuat atau tidak berbuat, mendasarkan pada ‘rasa’ dan ‘pemahaman’ akan keseimbangan dan keluhuran masing-masing pelakunya. Ditakar-takar sendiri. Dalam bahasa Jawa, disebut ‘iso rumongso’ yang maknanya adalah : bisa tahu diri, atau bisa mengerti sendiri batasannya.
Jika beragama tidak sama dengan berspiritualitas, lalu apakah orang yang beragama bisa menjadi spiritualis?
Tentu bisa. Tetapi ada dua ‘nature’ atau keadaan alamiah yang berbeda dari dua ‘aliran’ ini.
Beragama, baru dianggap sah dan benar jika melakukan serangkaian peraturan, petunjuk, dan kewajiban. Melakukan intrepretasi bebas atas peraturan agama apalagi melaksanakannya secara berbeda dari aturannya, selalu berpotensi dianggap bid’ah, sesat dan bahkan murtad. (Dahulu), nyawa seringkali menjadi harganya.
Sebaliknya, spiritualitas itu merdeka. Tidak ada batasan harus bagaimana. Setiap pelakunya dibebaskan untuk mengeksplorasi diri… yang penting tujuannya ‘dapat’, ya itu tadi : menjadi insan yang damai, lembut, tenang, pengasih, penuh cinta dan sejenis itu.
Maka, silakan mencari sendiri, ‘ngepas-ngepasin’ sendiri, jika kamu agamis namun juga ingin menjalani hidup yang spiritual.
Sumber : Status Facebook Nana Padmosaputro II
Comment