Oleh : Ramadhan Syukur
ADA video pendek yang memperlihatkan suasana misa di Gereja Kristus Raja Baciro, Yogya, yang mendadak riuh akibat goyangan gempa. Dalam keriuhan samar-samar terdengar teriakan takbir “Allahu Akbar” dari jemaatnya.
Banyak orang heboh dengan video tersebut. Tapi buat gue yang pernah 18 tahun kerja di Kompas Gramedia dan punya banyak teman Kristen di sana, kok biasa aja.
Bukan sekali dua kali gue mendengar teman Kristen spontan teriak “Allahu Akbar” atau “innalilahi” ketika kaget melihat orang terpeleset atau barang terjatuh, misalnya.
Bukan tiga empat kali bahkan berkali-kali masuk ke kuping gue teman Kristen bilang, “Alhamdulillah”, “Insha Allah”, atau “Masha Allah”. Cuma memang mereka mengucapkannya gak sefaseh guelah yang muslim. Di kuping gue kadang terdengar berbunyi “insya awoh”, “masyaaowoh”, “yaoloh”. Tapi banyak juga yang pas dengan ekspresi bukan sedang bercanda. Ekspresi terpelajar.
Dan gue gak berusaha untuk mengajarkan mereka agar mengucapkan yang benar. Atau protes dan menegur karena salah melafalkannya. Atau juga gak terbersit di otak gue mau balik bercandain, “Udahlah mualaf aja loe. Udah pantes tuh.”.
Enggaklah. Biasa aja. Sama biasanya kalau sohib Jawa gue mendengar lidah Padang gue di kampus ikut-ikutan mereka teriak “juancok”, “huajinguk”, atau “uwasuwok” yang gak persis kayak lidah Jawa asli mereka.
Nah, gara-gara video takbir itu pihak Gereja Baciro (sebelum diperkusi plus disodori meterai 10.000) buru-buru meminta maaf, “Kami dari pihak gereja memohon maaf karena memang ini ketidaksengajaan kami dan ini di luar prediksi kami juga.”
Walau buat gue gak perlu minta maaf, tapi gue memaklumi mengingat banyak muslim karbitan, turunan, yang buta literasi atau yang pengetahuan agamanya kagak jelas dikhawatirkan ngamuk.
“Misa kok bawa-bawa nama Tuhan gue. Situ latah apa mau ngeledek.” Nah, ribet kan ketemu orang kayak gini. Yang doyan jihad tapi gak pernah sholat.
Gue bilang buta literasi, karena gue pernah baca, seorang Uskup Agung dari gereja Kristen Ortodoks Palestina, bernama Atallah Hanna, biasa aja mengucapkan kata-kata seperti Alhamdulillah, Insha Allah, Masha Allah. Apanya yang ganjil? Gak ada.
Bahkan katanya, “Kami orang kristen Palestina juga mengucapkan Allahu Akbar. Istilah arab untuk Tuhan adalah Allah, apapun agamanya.” Tambah orang Palestina ini.
Buat mereka yang kurang jauh mainnya dan tipis bacaannya, pasti heran. Ternyata ada ya orang Palestina yang Kristen? Lantas gimana dengan ustad yang katanya sudah mengirim bantuan duit 14 M ke sana?
Ya gak gimana-gimanalah. Paham gak si ustad bahwa orang Palestina bukan cuma beragama Islam. Yang Kristen dan berjihad bersama-sama untuk negaranya sampai berdarah-darah digebukin tentara Israel, bahkan mati, juga ada.
Sebelum gempa Yogya, MUI Sumatera Selatan juga melayangkan protes gara-gara musik Marawis NU digunakan untuk mengiringi acara selesainya renovasi Gereja Katolik Paroki Santo Yoseph, di Lawang Kidul, Tanjung Enim, Muara Enim pada Rabu 19 Juli 2023 lalu.
“Seharusnya itu tidak boleh terjadi karena setiap Marawis pasti menyebut nama Allah.” Begitu alasan Sekretaris MUI Sumsel, KH Ayik Farid Alay Idrus.
Ini jadi mirip kayak di Malaysia. Selama tiga dekade, pemerintah Malaysia pernah melarang kelompok minoritas Kristen menggunakan kata “Allah” untuk merujuk kepada Tuhan. Karena kata “Allah” adalah milik umat Islam. Begitu akunya.
Barulah setelah terjadi pertarungan hukum yang sengit sampai lebih dari satu dekade, akhirnya pada 2021 Pengadilan Tinggi Malaysia memutuskan memberikan hak penggunaan kata “Allah” bagi umat Kristen di Malaysia.
Apa alasannya? Alasannya, umat Kristen Malaysia berhasil mengajukan argumen tak terbantahkan bahwa kata “Allah” yang merujuk pada Tuhan telah digunakan umat Kristen Arab selama berabad-abad, jauh sebelum Islam lahir. Sama seperti kata “amin” yang selama ini gak masalah dipakai oleh agama samawi. Nah!
“Kami orang Kristen juga mengucapkan Allahu Akbar. Ini adalah ekspresi dari pemahaman kami bahwa Sang Pencipta Maha Besar.” Demikian lanjut Pak Uskup Atallah.
Makanya uskup ini juga bisa marah besar pada orang Barat yang mengaitkan kata “Allahu Akbar” dengan terorisme dan kejahatan. Dia menolak untuk mengasosiasikan kata-kata itu dengan pembantaian dan pembunuhan.
Gue setuju. Dan Pak Uskup ini tentu bukan sedang membela apalagi mengambil hati umat Islam, tapi dia sedang membela hakikat bahasa ibu mereka. Bahasa yang boleh dipakai siapa saja lintas agama. Bukan cuma lintas Melawai. Termasuk jemaat Gereja Kristus Raja Baciro yang spontan mengucapkan Allahu Akbar ketika terjadi gempa. Atau Freddy Mercury (Queen) yang meneriakan 29 kali kata “Allah” dalam lagu “Musthapa” yang kemudian diakhiri dengan “….Aleikum Salaam hey!”
Apakah pihak Gereja Baciro harus minta maaf pada umat Islam karena khilaf dan salah ucap, seperti KPK yang minta maaf ke TNI karena khilaf dan salah tangkap? Seharusnya gak perlu.
N.B.
Jaman kuliah ngebahas etimologi itu mengasyikan. Kali ini gue rada malu, apalagi gue tahu bahwa kata “surga” dan “neraka” yang gak pernah absen diucapkan dalam setiap kajian dan pengajian Islam berasal dari bahasa Sansekerta: swarga dan narakah. Dan itu milik pemeluk agama Hindu. Apakah perlu bersih bersih kata? Ah lebai nan malang.
Sumber : Status Facebook Ramadhan Syukur
Comment