by

Ada Haditsnya Ga?

Oleh : Ahmad Sarwat

Mohon maaf ustadz, masalah yang barusan disampaikan itu apakah haditsnya?, begitu pertanyaan diajukan seorang jamaah.

Kalau pertanyaan macam ini yang diajukan, saya bisa langsung menebak kira-kira profil si penanya kayak apa.

Mungkin kebanyakan dicekokin ceramah bahwa sumber agama Islam hanya sebatas Al-Quran dan Hadits saja.

Logika yang tertanam sebegitu sempitnya, sampai ke level paling rendah yaitu pernyataan lugu : “Di luar Al-Quran dan Hadits harus tinggalkan, karena yang diwariskan oleh Nabi SAW kepada kita hanya Al-Quran dan Hadits. Sisanya hanya ijtihad manusia biasa. Dan manusia bisa salah. Yang benar hanya Allah dan Rasul”.

Gedubrak!

Jelas saya bisa langsung menebak profil orang yang bertanya.

Kok bisa?

Bisa banget, karena dulu di zaman rekiplik, pemahaman agama saya mirip persis kayak orang itu.

Kalau dipikir-pikir lumayan agak lama juga dulu berkubang di rawa becek macam itu. Ilmu agama punya, tapi tipis-tipis saja. Saking tipisnya sampai tembus pandang menerawang.

Bahasa Arab saja pun tidak bisa. Sudah bisa dipastikan tidak pernah bersentuhan dengan literatur original dari sumber yang valid.

Modal beragama hanya dari ji-ping alias ngaji nguping saja. Itu pun tidak jelas asal muasalnya. Tidak jelas nama mata kuliahnya, tidak karuan program studinya. Juga tidak ada kitab rujukannya.

Dan yang pasti, yang jadi nara sumbernya pun asal comot saja. Tidak pernah dipastikan kapasitas keilmuannya.

Tapi kalau bicara semangat pembelaan agama, berdirinya paling depan. Teriaknya pun paling nyaring.

Cuma ya itu tadi, dalam pandangan saya waktu itu Islam hanya sebatas terjemah Al-Quran yang ditarik kesimpulannya seenak pak ustadz. Intinya mengarang bebas.

Lebih dari itu pakai hadits-hadits pilihan. Maksudnya, kalau dirasa hadits itu cocok, dipakai dan dibawa kemana-mana sambil digembar-gemborkan.

Tapi giliran merasa tidak cocok dengan suatu hadits, ternyata hadits dilempar jauh-jauh. Kadang dituduh dhaif atau yang paling gampang disembunyikan.

Sumber agama di level berikutnya nyaris tidak diakui. Ijma’ dan Qiyas sama sekali tidak paham. Apalagi sumber-sumber syariah berikutnya, makin runyam.

* * *

Setelah akhirnya ketemu tempat belajar ilmu agama lebih jauh, wawasan saya pun mulai mengalami perubahan lebar sekali.

Tinggal tugas saya sekarang bagaimana agar mereka yang nasibnya seperti saya dulu tidak terus menerus berkubang di tempat yang sama.

Makanya saya paham sekali kalau banyak yang masih seperti saya dulu. Maka saya bisa langsung menebak profil si penanya.

Dulu sewaktu masih aktif di salah satu channel tv, ada permintaan bahwa setiap jawaban musti dilengkapi dengan hadits.

Saya bilang memang tidak ada haditsnya, masak mau dipaksa ngarang hadits? Atau kudu pakai hadits yang tidak relevan tapi main paksa?

Agak susah juga saya harus menjelaskannya.

Sumber : Status Facebook Ahmad Sarwat

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed