by

Menolak Kampanye Politik Tendensius

Oleh : Mamang Haerudin

Malam ini, sekitar pukul 21.15 WIB, saya baru saja selesai melaksanakan Lailatul Ijtima’ Ranting NU Desa Kubangdeleg. Tiba-tiba saya dihadapkan sebuah tulisan bertajuk “KH. Imam Jazuli, Sosok Mujaddid Politik Nahdliyin” oleh Abdul Muiz Syaerozie, yang nota bene salah seorang politisi atau kader PKB Kabupaten Cirebon. Jadi sebetulnya tidak aneh jika kemudian tulisan itu secara khusus ditujukan untuk Imam Jazuli, salah seorang (mantan politisi PDI Perjuangan) yang belakangan begitu tendensius mengkampanyekan PKB secara membabi-buta.

Prinsipnya, dalam segala apa pun tidak perlu berlebihan. Menjemput rezeki, bekerja, bersekolah, menggapai impian dan lain sebagainya, termasuk berkampanye untuk salah satu partai politik. Cinta dan benci seperlunya. Sebab siapa tahu, yang benci malah jadi cinta, yang cinta malah jadi benci. Nanti rugi sendiri. Saya juga punya hak berpolitik, punya kebebasan untuk mensuport parpol mana pun dan sosok siapa pun. Tapi ya biasanya saja, tidak membabi-buta, apalagi menabrak etika.

Agar tulisan ini bisa dibaca oleh khalayak umum, sengaja saya membubuhi judul untuk catatan harian hari ini “Menolak Kampanye Politik Tendensius.” Bagaimana bisa ada seseorang yang tiba-tiba melakukan kampanye politik secara membabi-buta atas nama agama, atas nama kemaslahatan. Ini ada apa ini? Sebagaimana kata pepatah, ini tidak mungkin jika tidak ada udang di balik batu. Oleh karena apa yang dilakukan oleh Imam Jazuli selama ini, terlebih menyangkut aktivitas kampanye politik tendensiusnya, adalah aktivitas berpolitik paling rendah. Entah karena alpa atau apa, bahwa warga Negara Indonesia, apalagi warga Nahdliyin ini menganut perspektif yang inklusif dan raisonal. Di mana segala keputusan yang sifatnya personal sekali pun selalu didasari atas petimbangan yang terbuka dan berbasiskan akal sehat. Sungguh prihatin jika ada seorang yang mendeklarasikan diri sebagai pengasuh Pesantren dan segala macam deklarasi lainnya, tetapi di saat yang sama narasi politiknya tidak mencerdaskan, malah cenderung mempersempit dan membodohi.

Begini, siapa pun berhak mengkampanyekan PKB, PDI Perjuangan, PSI, dll hatta PKS dan Partai Umat. Namun, kampanye politik untuk PKB yang dilakukan Imam Jazuli jelas-jelas sangat merendahkan PKB dan kader-kadernya. PKB dan kader-kadernya terdegradasi sedemikian anjlok. Menjadi parpol dan kader yang tidak percaya diri, yang justru menjadi pelopor politik identitas dengan menghalalkan segala cara.

Istilah “mujaddid politik” yang disematkan Abdul Muiz Syaerozie kepada Imam Jazuli benar-benar merusak akal sehat. Betapa tidak, sejak awal, apa yang dilakukannya justru menyerang PBNU dan Gus Yahya sebagai Ketua Umum. Segala peraturan PBNU, makna khittah 1926 ditafsirkan secara sepihak dan sembrono. Lagi-lagi mungkin ia alpa, bahwa segala kebijakan menyangkut lembaga atau organisasi selalu erat kaitannya dengan konteks. Konteks inilah yang harus dijadikan pijakan agar dalam memahami keputusan fikih atau keputusan apa pun tidak leterlek dan rigid.

Sekali lagi saya menolak kampanye politik tendensius. Apa sih yang mau dibanggakan? Apakah karena punya Pesantren besar? Uang yang banyak? Kendaraan yang mewah? Rumah yang megah? Jejaring yang luas? Banyaknya anak buah? Tidak perlu kita memamerkan keberanian karena dipicu oleh kedigdayaan kepemilikan dunia. Semuanya semu dan palsu. Apalagi apabila ditempuh dengan cara-cara yang instan dan bermuatan sikap-sikap tendensius.

Inovasi itu keniscayaan. Dan keberanian adalah bahan bakarnya. Hanya saja tidak digunakan untuk segala hal yang bermuatan sikap tendensius. Saya mensuport PSI, di saat yang sama bisa mensuport PKS. Begitu sebaliknya, mengkritik PSI, tidak menutup kemungkinan mengkritik PKS. Semua berjalan proporsional. Jadi mari kita bersama berpegang teguh pada sikap proporsional. Bersemangat dan berapi-api silakan saja, tetapi tetap mengindahkan etika dan estetika. Berpolitik yang mencerdaskan rakyat sebagai konstituen. Jangan sampai kemudian kampanye politik tendensius ini yang akhirnya menjebak publik pada politik transaksional. Dan gelagat-gelagat ini begitu terbaca oleh publik. Setiap kader dan simpatisan akan berusaha mengkampanyekan parpolnya dan itu biasa, tetapi mana ada yang melakukannya secara kampungan seperti yang dilakukan Imam Jazuli.

Walhasil, saya bisa hormat kepada siapa saja, misalkan karena faktor usia, ilmu atau lainnya. Namun, jika persoalan itu menabrak akal sehat, siapa pun akan saya kritik agar tidak kebablasan dan yang paling penting sebagai penyeimbang suhu politik di tanah air. Indonesia sedang butuh Negarawan (apa pun status dan jabatannya) yang berjuang dengan akal sehat dan hati nurani. Sekian.

Wallahu a’lam

Sumber : Status Facebook Mamang M Haerudin (Aa)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed