Oleh : Agung Wibawanto
Seperti sudah diketahui publik dan menjadi catatan sejarah, bahwa posisi Jusuf Kalla sebagai wakil presiden tidak berlanjut pada pemerintahan Jokowi periode kedua (2019-2024). Pecah kongsi antara Jokowi-JK telah terjadi saat bergulirnya pilkada DKI 2017 lalu. Jokowi dikabarkan tidak senang dengan ulah JK berpolitik praktis turut mendukung (cawe-cawe) terhadap Anies Baswedan.
Awalnya JK berusaha mengelak namun kini ia mengakuinya. Wakil Presiden ke-10 RI itu mengaku mendukung pencalonan Anies Baswedan di Pilkada DKI 2017. Dia pun mengakui mengusulkan pencalonan Anies di Pilkada DKI 2017 dengan melobi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Presiden PKS saat itu, Sohibul Iman, jelang penutupan pendaftaran pasangan bakal calon.
“Saya kenal baik dengan Anies, benar. Saya yang mendukung dia jadi calon gubernur, itu benar. Malam-malam, 12 jam sebelum penutupan saya telepon Pak Prabowo dan Ketua PKS, semua setuju,” kata JK dalam program Special Interview with Claudius Boekan yang diunggah di kanal YouTube BeritaSatu, pada Jumat (4/12).
Meski alasannya demi keamanan pemerintahan Jokowi, tetap saja membuat Jokowi berang. “Akan bahaya jika Ahok menang. Jokowi bisa kena,” ucap JK. Apa yang bisa ditangkap dari kalimat itu? Seolah JK bisa memastikan Ahok bakal kalah? Karena, bagaimana jika Anies yang kalah? JK sudah terang-terangan bermain di sana.
Salah satu caranya mengerahkan sentimen agama melalui masjid-masjid yang dijadikan markas pendukung Anies. Jangan heran, karena JK adalah Ketua Dewan Masjid Indonesia. Berkata melarang masjid digunakan kampanye politik, namun faktanya masjid dikuasai pendukung Anies. Dengan cara politik identitas ini JK ingin memastikan kemenangan buat Anies.
Makna selanjutnya dari ucapan JK bahwa “Jokowi akan kena” maksudnya apa? Seolah pula dia bisa memastikan akan ada chaos Jika Ahok menang dan membahayakan kedudukan Jokowi. Adakah itu merupakan Plan B, jika Anies kalah? JK merencanakan suatu kondisi darurat yang mengancam posisi presiden? Jikapun itu hanya halusinasi JK, maka sangat tidak lucu.
Hayalan seperti itu terlalu jauh dan naif bagi politikus senior sekelas JK. Menurut analisa saya jelas itu bukan hayalan, melainkan sebuah riil perencanaan, dan JK berhasil. Jika saja Jokowi mau, tentu dia bisa ikut cawe-cawe untuk memenangkan Ahok (notabene sebagai sohibnya). Tapi hal itu tidak dia lakukan guna menjaga kondusivitas pilkada yang memang panas ketika itu.
Yang benar-benar menjadi catatan dan digaris-bawahi secara tebal adalah perilaku JK yang tidak memiliki etika dan sangat lancang ketika itu. Sejak saat itu, hubungan antar keduanya mulai berjarak meski tidak diperlihatkan ke publik. Relawan Projo pun banyak yang kecewa dan mengeluh kepada Jokowi terutama untuk tidak memperpanjang jabatan wapres kepada JK pada periode kedua.
Tanpa ampun, JK pun didiamkan hingga pendaftaran pasangan capres-cawapres ke KPU. Jokowi pun berpasangan dengan Maruf Amin. Dendam JK kepada Jokowi berlanjut hingga kini, terlebih ada perusahaan milik keluarga JK (Bukaka) dianggap bermasalah hukum. Terakhir dia kritik agar Jokowi tidak cawe-cawe dalam urusan pilpres. “Jangan sampai mendukung calon tertentu,” ujar JK.
Seolah Jokowi sedang memberi jawaban atau balasan menohok atas apa yang dilakukan JK pada pilkada 2017. Kritik JK dijawab tegas oleh Jokowi, “Demi bangsa dan negara, saya harus cawe-cawe!” Tentu JK tidak bisa berkata banyak. Jokowi tidak ingin dikadali oleh JK lagi. Dia tahu JK berhasrat memenangkan Anies dan lakukan perubahan. Hasrat itu tidak akan dibiarkan Jokowi.
JK paham betul, jika Jokowi turun tangan, maka peluang Anies akan habis. Tapi jika Jokowi tidak turut campur, JK merasa yakin Anies bisa menang. Maka dari itu JK khawatir dengan apa yang dilakukan Jokowi. Meski Jokowi akan pensiun, namun diakui JK bahwa posisi Jokowi masih kuat. Legitimasi Jokowi tak tergoyahkan dengan 82% masyarakat merasa puas atas kinerja presiden.
Secara politik juga koalisi partai pemerintah masih cukup solid (minus Nasdem). Begitupun dengan angkatan bersenjata TNI-Polri yang tampak masih sangat loyal pada kepemimpinan Jokowi. Sementara JK hanya mengandalkan ormas dari kelompok Islam garis keras, tentu tidak terlalu kuat menghadapi Jokowi. Hal ini pun menjadi pertimbangan politiknya, antara terus maju atau menyerah.
Sumber : Status Facebook Agung Wibawanto
Comment