by

Kaum yang Hanya Bisa Menyalahkan

Oleh : Fritz Haryadi

Presiden disalahkan karena covid? Tergantung yang menyalahkan. Kalau politikus ya wajar. Kalau tikus tanpa partai? Lebih wajar. Makin rendah derajatnya, justru makin tinggi musuh yang dicari. Sebab si musuh bakal serba salah, ndak bisa balas karena lawannya terlalu kecil. Macam mbalas anak umur 9 tahun yang lempar tai ke mukamu. Tetap bakal disalahkan. Maka wajar politikus dan tikus menyalahkan presiden. Karena enak, ndak bakal diapa-apakan. Coba dia salahkan Kapolsek? Ditembak mati bijinya.

Jadi soal covid ini, apakah presiden salah? Jelas tidak. Wong tidak mampu kok disalahkan. Dan yang tidak mampu itu bukan cuma presiden. Negaranya yang tidak mampu. Ketidakmampuan ini memang susah diakui warga starbucks, apalagi yang hidupnya cuma di pulau jawa. Yang dilihatnya cuma betapa negara ini makin lama makin mirip negara maju, apa saja punya, apa saja ada. Padahal yang terlihat di sebatas jarak pandangnya cuma 7% dari seluruh wilayah negara ini. Kodok dalam kondominium. Maka wajar kalau model begini selalu menuntut lebih, selalu merasa negaranya mampu. Negara tidak mampu, maka wajar kalau presiden dan semua kepala daerah juga tidak mampu. Itu kalau saya. Dan ini tidak perlu dirasa malu. Namanya juga negara berkembang.

Ini pandemi lho, bahkan negara maju saja kewalahan. Walaupun di awal ada segelintir yang unjuk kebolehan menangani, dengan segala infrastrukturnya, kekuatan sistem pelayanannya, pasukannya, disiplin warganya, keperkasaan ekonominya. Toh tidak sampai setahun pada kedodoran. Apalagi sekarang sudah masuk tahun kedua. Mereka saja begitu, jadi ya wajar kalau kita begini. Terima nasib.

Jadi menyalahkan pemerintah karena “tidak cukup berbuat”, itu tidak logis. Apalagi cuma menyalahkan presiden doang. Apakah artinya tidak boleh disalahkan? Tergantung, disalahkan apanya. Saya dari awal aslinya juga menyalahkan, mirip kodok-kodok itu. Tapi saya bener, ndak goblok kayak mereka. Mereka menyalahkan pemerintah karena kurang berbuat, saya menyalahkan pemerintah karena TERLALU BANYAK BERBUAT. Dari awal saya konsisten bilang, pemerintah tidak perlu ikut-ikutan sok sibuk. Tidak usah berbuat. Dijamin mubazir. Sebab kemampuan tidak cukup. Lebih baik menghemat tenaga dan uang untuk antisipasi dampak akhir dari wabah ini, nanti; daripada bakar duit sekarang untuk pencitraan ke tetangga. Ya memang ada potensi sanksi internesyenel kalau kita tidak ikut tren, tapi itu tidak usah ditakutkan. Sebab dunia sedang lumpuh.

Sanksi apa? Dari siapa? Wong polisi dunia, debt collector dunia, auditor dunia, sampai mudin dunia, semua sibuk ngurus negaranya masing-masing. Lonte dunia macam kita ini harus tahu kapan waktunya takut dirazia sehingga pura-pura jadi penjual jamu, dan kapan waktunya merdeka saat razianya cuma formalitas. Kena blacklist travel dari sekian puluh negara? Itu bukan sanksi. Itu memang mereka melindungi diri. Hak mereka. Tidak perlu kita baper merasa disasar, apalagi merasa dihukum. Siapa sih elu? Memang dampaknya sudah membabat sampai ke kelas bawah, khususnya TKI. Tapi bisa diperbaiki, kalau tahu menempatkan prioritas berdasar potensi sendiri, bukan ikut-ikutan tren.

Saat perdagangan luar negeri terhambat, solusinya tentu saja menggenjot pasar dalam negeri. Banjiri lapangan kerja. Itu yang saya sebut di awal, antisipasi dampak wabah. Dampaknya jelas ekonomi. Fokuskan tenaga dan uang untuk itu. Kehilangan nyawa? Itu bukan masalah untuk bangsa ini. Kita profesional dalam soal ini. Mati satu tumbuh seribu. Seperti saya pernah bilang, kapasitas andalan kita adalah Repopulasi. Itu cara kita mencapai herd immunity.

Kekebalan kita kekebalan alami, melalui qodho’ evolusi : yang mati biar mati, lanjut berkembang biak lagi.Persetan dengan kemanusiaan, junjung tinggi kemapanan; itu khasanah budaya kita. Percayailah potensi diri, jangan minder lalu latah pada dagangan orang. Jelas pandangan beginian tidak laku. Itupun wajar karena sifat munafik juga khasanah budaya kita. Jadi saya tidak ngoyo. Yang penting saya sudah sampaikan, you mau gubris apa tidak, persetan dengan anjing-anjing. Maaf sekedar mengingatkan. Lalu bagaimana dengan politikus dan tikus yang ngoyo dan tidak capek-capek menyalahkan pemerintah, khususnya presiden? Ngoyonya wajar, namanya juga tupoksi. Kalau terlalu mengganggu kan pasti disingkirkan. Tapi nyatanya kan tidak. Jadi ya masih dibutuhkan. Biar sajalah mainannya politikus, biasa. Macam film porno, mau baku injak model bagaimana juga pasti ujungnya Happy Ending. Buat saya seperti biasa, yang namanya badut ya perlakukan sesuai haknya. Lempari pisang.

Sumber : Status Facebook Fritz Haryadi

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed