Oleh : Dahono Prasetyo
Dalam sebuah acara seminar di salah satu BUMN beberapa waktu lalu, ada sebuah paparan testimoni yang cukup menggelitik dari salah satu narasumbernya. Dari seorang teknokrat dengan gelar yang melebihi panjang namanya. Gaya bicaranya blak-blakan saat bercerita pengalamannya melanglang buana ke berbagai negara. Hampir semua negara industri pernah dia kunjungi.
Bahkan kalau ada sekolah yang membuka jurusan S4 atau S5 dia siap belajar lagi. Gelar yang dimiliki sekarang adalah wujud nyata dedikasinya dalam dunia science dan teknologi. Baginya ilmu itu berkembang setiap detik. Saat ada penemuan baru, disitulah ilmu tercipta, menginspirasi penemuan baru lagi yang bermanfaat bagi kemudahan dan efektifitas hidup manusia.
“Secara inovasi, skill dan ide kreatif, tenaga ahli dari negara kita tidak kalah dengan negara lain. Beberapa ahli dan peneliti kita bahkan diakui sebagai yang terbaik di bidangnya. Stok orang pinter di negeri ini melimpah, saking banyaknya sampai tak tertampung di negeri sendiri. Bukan karena negara tidak mampu mempekerjakan mereka, tetapi kenyataannya penemuan mereka belum saatnya diaplikasikan di sini. Yang terjadi pada akhirnya banyak orang-orang pintar kita yang bekerja di luar negeri, entah mengajar, atau jadi konsultan” papar sang Profesor yang dilihat usianya belum sampai kepala 5.
” Sebuah Perusahaan Otomotif Internasional asal Jepang pernah kita ajak kerja sama untuk pengembangan teknologinya. Saya sebagai Ketua Timnya menawarkan inovasi salah satu spesifikasi mesinnya. Secara tehnis, mesin yang saya tawarkan lebih efisien dari inovatif dibanding mesin yang mereka punya. Bersama tim ahlinya kemudian mereka memeriksa dan membandingkan dengan produk miliknya. Lalu dikatakan mesin dia memiliki standar kualitas di atas mesin yang kita tawarkan dengan berbagai argumen tehnis. Lalu pada bulan berikutnya kita tawarkan lagi mesin yang sama namun dengan menyesuaikan standard material yang diinginkannya. Mereka menolaknya presentasi saya lagi dengan alasan masih belum masuk standard mereka. Sepulang dari presentasi saya membeli 1 unit mesin produk dia. Saya bawa ke kampus, sedikit utak-atik saya hilangkan logo nama perusahaan dalam mesin itu. Minggu depannya saya kembali presentasi dengan mesin tersebut. Aneh bin ajaib mereka menolaknya dengan alasan tetap belum masuk standar kualitas mereka. Bahkan Kepala Teknisinya yang kebetulan bekas dosen saya mengatakan bahwa mesin yang terakhir ini lebih jelek kualitasnya daripada yang saya presentasikan minggu lalu. Saya hanya bisa tertawa dalam hati. Mesin dia sendiri dihilangkan logonya saja sudah tidak mengenali. Malah secara tidak sadar mengakui mesin kita lebih baik dari buatannya. Kesimpulannya adalah mereka sebenarnya tidak ingin tersaingi tehnologinya”
Kita tidak pernah kehabisan orang-orang jenius, bahkan melimpah. Hanya butuh cinta tanah air agar ilmu itu tidak sia-sia.
Sumber : Status Facebook Dahono Prasetyo
Comment