by

Gelisah Tahta Cak Imin

Oleh : Karto Bugel

Lihai dan licik adalah satu pisau dengan dua mata yang sama-sama tajam. Ga ada tampak terlalu berbeda pada sisi luarnya, sama-sama tajam, namun dampak yang akan dihasilkan dari perbuatannya itulah yang kelak memberi warna.

Biasanya, pihak terkena akibatlah yang mampu membuat diskripsi ini kelak.

Lihai dan licik makin samar dalam ranah politik. Warna abu-abu di lapangan itu, tak memberi kesempatan para pihak untuk terlalu pusing pada istilah tersebut. Target harus menang sebagai keutamaan, telah berhasil merubah banyak hal.

Itu seperti medan perang dan maka segala bentuk aturan atau tata krama, untuk sementara, untuk sesaat, atau bahkan untuk selalu dan seterusnya, dapat dinomor sekiankan.

Untuk kesekian kalinya, dan lagi, pada ulang tahun yang ke 24 PKB pada 23 Juni ini riak-riak kecil kembali muncul. Ribut dalam saling berbalas cuitan Yenny Wahid dan Cak Imin, dimana keduanya adalah sama-sama sosok lawas PKB, sama-sama memiliki rasa sejarah melekat dan memiliki hubungan darah dalam sepupuan, terjadi.

Yenny putri sulung alm, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur kembali berseteru dengan keponakan almarhum terkait PKB dengan segala kerumitannya.

Pada satu sisi, pada rasa para pendukung yang mengaguminya, Muhaimin Iskandar adalah sosok lihai. Di mata Yenny apalagi para pendukung Gus Dur, jelas dia adalah sosok licik.

Di mata Yenny, dia seperti Malin Kundang yang tak kenal budi (tanpa MAN). Di mata para pendukung nya, dia adalah sosok super (dengan MAN). Dia jagoan berkelit sekaligus over PeDe, dan maka dia juga sering terlihat sedikit narsis. Hebatnya, dia melihat itu sebagai sisi lebihnya.

Mencari sisi temu kenapa mereka selalu ribut, itu tak mungkin tak dimulai dari awal dibentuknya PKB. Dan cerita itu terkait erat dengan rentetan mulai dari peristiwa Kudatuli 96, PRD dengan Budiman Sudjatmiko, Reformasi 98 dan runtuhnya rezim Orde Baru.

Dan pada cerita itu juga tak mungkin lepas pada tiga sosok tokoh reformasi Megawati, Gus Dur dan Amien Rais.

Dibuka dengan kerusuhan 27 Juli 96 di markas PDI di Diponegoro 57 dan berakhir dengan munculnya kambing hitam PRD dengan korban dipenjara adalah Budiman Sudjatmiko, Iwan, Petrus, Soeroso dan Ignatius Pranowo.

Seperti bola salju, kisah ini menggelinding dan makin membesar dengan puncaknya adalah demo mahasiswa 98 dan Orde Baru pun runtuh. Tiga sosok reformasi itu serta merta menjadi ujung tombak segala bentuk perlawanan pada sisi politik.

Berbeda dengan Megawati yang saat itu sudah punya partai yakni PDI kongres Surabaya yang meskipun tidak diakui pemerintah, Gus Dur dan Amien Rais tidak. Maka, Gus Dur membuat PKB dan Amien Rais dengan PAN nya. Ini terkait dengan “sekalian basah”.

Seperti kita tahu bahwa di negeri ini, paling tidak, selalu ada hadir tiga kekuatan politik yakni TNI, Nasionalis dan Agama, Gus Dur sebagai tokoh NU dan Amien Rais sebagai tokoh Muhammadiyah adalah sisi lain representasi agama sebagai partner Nasionalis yang sudah diwakili oleh Megawati.

Untuk sesaat ABRI (TNI saat itu) absen sebagai dampak mundurnya Soeharto. Namun sebagai alat tawar, sebagai otak di belakang arah kebijakan, itu tak mungkin terjadi tanpa keterlibatannya.

Perolehan suara Golkar pada pemilu 1999 yang tetap tertinggi urutan 2 setelah PDIP meski baru saja “dikudeta” dan dianggap gagal, tak mungkin bisa terjadi tanpa ada impossible hand dari kekuatan luar biasa itu.

Pun pada cerita gagalnya Megawati menjadi Presiden meski partainya memperoleh suara tertinggi hingga kelak pada kisah lengsernya Gus Dur, tangan-tangan tak terlihat di balik peran culas Amien Rais sebagai motor saat itu tak mungkin dilakukan oleh mereka yang berkualifikasi kaleng-kaleng.

“Apa hubungannya dengan ribut cak Imin dan Yenny?”

Ketika Gus Dur menyadari bahwa dirinya telah nyemplung, pilihan sekalian basah mau tak mau beliau lakukan. Membentuk Partai Politik adalah realitas paling masuk akal. PKB sebagai representasi NU lahir pada 23 Juni 1998.

Hal itupun tak lepas dari banyaknya warga NU yang menginginkan agar dibentuk parpol yang mewadahi aspirasi kaum Nahdliyin dan umat Islam di Indonesia.

Namun, membentuk partai politik sama dengan melibatkan NU dalam politik praktis. PBNU pun harus berhati-hati. Secara organisatoris, seperti perintah Muktamar NU 1984, NU tidak terkait dengan partai politik manapun sekaligus tidak melakukan kegiatan politik praktis.

Sikap PBNU membuat warga Nahdliyin kurang puas. Usulan agar segera dibentuk partai politik untuk umat NU justru semakin kencang.

Hal itu dapat dilihat dengan munculnya sejumlah partai politik berbasis massa NU yang sudah dideklarasikan. Di sana ada Partai Kebangkitan Umat di Cirebon dan Partai Bintang Sembilan di Purwokerto misalnya.

Akhirnya, pada 3 Juni 1998, PBNU pun memenuhi aspirasi Nahdliyin. Tim Lima yang terdiri dari KH Ma’ruf Amin sebagai ketua, dengan anggota KH M. Dawam Anwar, KH Said Aqil Siradj, HM Rozy Munir, dan Ahmad Bagdja terbentuk.

Tim Asistensi yang bertugas membantu Tim Lima dalam menginventarisasi dan merangkum usulan pembentukan partai politik baru yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU pun turut dibuat. Di sinilah keponakan Gus Dur Muhaimin terlihat hadir dengan menjadi salah satu anggota Tim Asistensi ini.

Akhirnya, pada 23 Juni 1998, terbentuklah Partai Kebangkitan Bangsa. Deklarasi dilakukan di kediaman Ketua Umum PBNU, Gus Dur. Matori Abdul Djalil terpilih sebagai Ketua Umum PKB pertama.

Dan PKB langsung menduduki posisi 3 tertinggi sebagai pemenang Pemilu 1999 di bawah PDIP dan Golkar. Luar biasanya, Gus Dur lah yang kemudian justru menjadi Presiden dengan hanya menempatkan Megawati sebagai Wakil Presiden.

Disinilah Peran invisible hand dengan Amien Rais dan poros tengahnya sebagai motor. Isu agama, isu gender di mana seorang imam tak mungkinlah seorang perempuan konon sampai harus dibuat demi menjegal Ketua PDIP yang adalah “musuh” paling ditakuti rezim sebelumnya. Serta merta potensi Megawati Pun sirna.

Kelak, invisible hand yang sama, yang berada di belakang Amien dalam peran lengsernya Gus Dur, kembali muncul hanya setelah beliau menjabat kurang dari 2 tahun saja. Saat Megawati secara otomatis menjabat Presiden, kekuatan reformasi telah terpecah belah.

Reformasi benar berhasil melengserkan Soeharto namun tidak dengan sistemnya. Badan dari negara Indonesia terlihat telah tereformasi namun masih dengan nyawa yang tak berubah.

Siapakah pihak yang mampu melakukan setting demikian rapi sehingga perjuangan para mahasiswa itu seolah hanya berhenti pada matinya badan dan namun jiwanya tetap utuh, itu jelas dilakukan oleh tangan tangan piawai.

“Tangan-tangan milik siapakah itu?”

Lengsernya Gus Dur menyisakan kisah pahit. Sang Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil konon justru terlihat hadir dalam sidang Istimewa MPR dengan agenda pemecatan Gus Dur sebagai Presiden. Sang ketua dianggap telah ikut serta melengserkan dia yang seharusnya dibela.

Di sana, tangan-tangan sakti itu bahkan telah melampaui kemustahilan seorang Matori hingga dapat berbalik.

Segera saja pemecatan terhadap Matori oleh Dewan Syuro PKB dari posisinya selaku Ketua Tanfidz Dewan Pengurus PKB dilakukan. Sejak 15 Agustus 2001 PKB dipimpin Alwi Shihab. Perpecahan pun terjadi..

Meski perpecahan terjadi, PKB masih dapat mempertahankan posisi 3 sebagai peraih suara pada pemilu 2004 dengan 52 kursi di DPR. Gus Dur masih menjadi magnet luar biasa.

Sekali lagi, Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa Abdurrahman Wahid, kembali harus memecat ketua PKB Alwi Shihab dan sekaligus Sekjen Saifullah Yusuf. Keduanya dianggap melanggar karena masuk ke kabinet Indonesia Bersatu pimpinan SBY tanpa konsultasi terlebih dahulu. Mahfud MD pun ditunjuk sebagai pimpinan sementara.

Akhirnya, Muktamar PKB di Semarang pada 2005 memilih Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum yang baru sementara Gus Dur tetap duduk sebagai Ketua Dewan Syuro.

Namun, menjelang Pemilu 2009, PKB kembali bergolak. Kini giliran Muhaimin yang entah kenapa justru sekali lagi melakukan manuver ke istana. Cak Imin mendekati istana milik SBY. SBY terlalu memikat untuk tak ditemani.

Atau, itu cara pintar SBY dalam memecah belah PKB? Segera, Muhaimin pun dipecat dari jabatannya.

Perseteruan pun segera terjadi. Cak Imin dan para pendukungnya yang tidak terima mengajukan gugatan terhadap Gus Dur ke Pengadilan. Isu rebutan Muktamar Luar Biasa PKB pun mulai mengemuka.

Keduanya saling menggelar MLB. Kubu Gus Dur di Parung sedangkan Muhaimin di Hotel Mercure Ancol. Kedua MLB itu berlangsung pada Mei 2008.

Pada MLB Ancol Muhaimin kembali terpilih menjadi Ketua namun dengan sekaligus mendepak Yenny Wahid dari jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal. Posisi Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro pun digusur dan kemudian digantikan oleh KH Aziz Mansyur.

Luar biasanya, pada Mei 2009, putusan pengadilan memenangkan kubu Cak Imin. Atas peristiwa itu, konon Gus Dur lebih memilih diam. Beliau secara perlahan terlihat mulai meninggalkan kancah politik hingga beliau meninggal.

Lantas, atas peristiwa itu, penilaian atas karakter lihai atau licik Muhaimin Iskandar dalam mengarungi samudra politik penuh abu-abu itu jelas berbalik pada subyektifitas masing-masing pihak.

Ya, bercerita sejarah PKB memang tak mungkin lepas dari Reformasi dengan segala perniknya. Dari Kudatuli hingga muncul kambing hitam PRD, yang kemudian menciptakan bola es yang terus menggelinding.

Megawati, Gus Dur dan Amien Rais yang pada awalnya terlihat kompak atas cara mereka menjawab demo mahasiswa 98 dan kemudian menempati posisi kunci, pada akhirnya harus “mengalah” dengan kekuatan tak kasat mata, invisible hand.

Dan bila kini kembali kita dengar keributan terkait PKB, itu seperti takdir ingin berkata atau sekedar kembali mengingatkan bahwa Reformasi memang belum selesai.

Masih tercecer banyak masalah dan kita seolah kembali diingatkan agar jangan bosan apalagi berhenti mencari sosok tepat demi mampu menjawab untuk apa bangunan reformasi itu pernah dibuat.

Gus Dur telah pulang dalam damai dan namun sosok Amien Rais jelas sulit untuk diharapkan. Kontroversial sikapnya pada banyak catatan justru membuat banyak pihak curiga bahwa dia adalah bagian dari sistem lama yang sengaja disusupkan? Entahlah…

Bila ada, bu Mega dan Budiman, dua tokoh bagi sebab bola salju itu tercipta masih dapat kita jadikan sumber bagi tanya kita mendapat jawab. Sekaligus asa agar mereka mau menuntaskannya. Masih ada waktu…

Terkait ribut Yenny dan Muhaimin, satu hal yang pasti, Cak Imin ini memang jagoan tebar pesona. Sikap PeDe-nya cenderung luar biasa. Kini dia sedang bermimpi ingin jadi Presiden. Kesempatan bagi dirinya untuk tujuan itu sudah makin sempit. Dia sudah terlalu lama menjadi Ketua PKB.

Maka dia butuh panggung. Dia butuh agar suaranya masih dapat didengar. Dia masih butuh dianggap ada, dan maka bisa jadi ribut dengan sepupunya hanya salah satu cara saja.

Di luar sana, Yenny Wahid justru terlihat sedang menahan rasa gelinya. Pada benaknya hanya sedang terbayang kardus penuh duri berbalut durian.

Tapi, apapun ceritanya, damai keduanya dalam saling memaafkan dan berikrar untuk bersama membangun Indonesia, itu pasti lebih baik. Itu juga contoh baik yang seharusnya justru diperlihatkan oleh para elit. Bukan malah ribut di panggung dan jadi tontonan…

RAHAYU

Sumber : Status Facebook Karto Bugel

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed