Oleh : Agung Wibawanto
Saya mengenal Budiman (Iko) adalah orang yang terobsesi kepada tokoh-tokoh besar dunia. Obsesinya ini tidak lepas dari kesukaannya membaca buku biografi ataupun ide gagasan tokoh dunia. Sebut saja tokoh Lenin, Karl Marx, Ketua Mao, Fidel Castro, Che Guevara hingga Bung Karno, Tan Malaka, Sjahrir sampai Soe Hoe Gie. Itu beberapa idolanya.
Aktivis satu ini (saat itu) dikenal cerdas karena literasi teorinya yang kuat. Jarang sekali mahasiswa yang mau apalagi suka membaca melebihi hobinya Iko tersebut. Kami membaca ya seperlunya saja. Entah karena malas atau ketidakmampuan otak menyimpan rumusan teori hingga sejarah tokoh dunia yang terlalu rumit dihafal ketika itu.
Rumus aktivis kebanyakan ketika itu hanya: kampus (kuliah), aksi dan cinta. Iko lebih memilih buku (yang non kampus), aksi dan diskusi. Maka itu, untuk urusan keseharian atau pergaulan, sebenarnya Iko bukan tergolong orang yang asyik, bahkan sedikit kaku. Gayanya jaim dan candaannya garing. Dari dulu lebih suka pakai kemeja lengan pendek putih ditambah syal di lehernya.
Sampai-sampai untuk urusan perempuan dia tertinggal 5 langkah di belakang kami-kami. Bangku kuliah ia tinggalkan dan memilih live in di lokasi konflik di rumah-rumah rakyat, dari satu lokasi ke lokasi lain, melakukan pengorganisasian. Hingga ketika ia masuk ke partai/PDIP (setelah dari PRD) dia sudah memiliki modal konstituen yang selama ini didampinginya.
Kelompok rakyat yang dampingi berasal dari kalangan tani, nelayan dan buruh pedesaan (bukan urban kota). Iko juga seorang yang jelas priyayi sebenarnya, berasal dari keluarga kelas menengah. Dia sepertinya benar-benar meniru bung Karno yang meski turun ke rakyat tapi soal style/gaya harus tetep dijaga. Gaya kelas menengahnya tidak hilang, tampilannya selalu terlihat bersih terawat.
Saya sampai memiliki pengalaman yang menjadi lucu karena pada akhirnya menjadi bahan tertawaan di markas mahasiswa dulu. Kehidupan di rumah sewa di Pelem Kecut, Deresan, Yogyakarta. yang kami jadikan markas benar-benar seperti di zaman rekiplik: milikmu milikku, milik bersama (kolektif). Sekali waktu Iko membuat kopi dan karena masih panas dia taruh begitu saja di lantai rumah (tempat biasa diskusi).
Dia sendiri tidak tahu kemana meninggalkan kopi panasnya. Seorang teman yang baru bangun tidur langsung saja menyeruput kopi Iko yang tampak tak bertuan. Saat itulah Iko muncul lalu teriak, “Eh, itu punyaku…,” ucapnya lugu. Kami yang ada di ruangan yang sama tertawa bahkan meledek Iko yang dianggap belum bisa melepas gaya kelas menengahnya, istilah kami borjuis dan hedonis.
Itulah Iko yang kadang suka bergaya (menggunakan kata-kata) Pramoedya Ananta Toer, atau kadang berganti sebagai Si Pemilik kisah Catatan Seorang Demonstran. Jadi, yang saya tangkap secara harfiah ketika Iko berpaling ke Prabowo saat ini, dia masih hidup dalam alam obsesinya yang mungkin kini lebih global (internasional).
Mungkin Prabowo dianggapnya lebih pas diajak membahas geopolitik global di mana Indonesia akan menjadi titik centrumnya. Jujur, ini penilaian secara subyektif yang terlihat. Hal lain yang tidak terlihat tentu hanya Iko sendiri yang mengetahui alasannya. Karena sejak itu mulai banyak rumor dan spekulasi liar yang beredar terkait Iko nekat ke Prabowo.
Salah satu sumber yang saya anggap kredibel mengatakan adanya teori konspirasi antara Iko dengan “kakak pembina” nya yang kini mengendalikan koalisi Perubahan. Mereka sendiri sesungguhnya hanya pion. Targetnya tidak lepas dari pemenangan pilpres dan merebut kekuasaan. Iko diminta untuk membawa gerbong suaranya (konstituennya) dari PDIP/Ganjar ke Prabowo. Bahkan jika mungkin bisa jadi RI2.
Saya, Iko dan kakak pembina pernah terlibat perbincangan bertiga di sebuah hotel di Yogyakarta (kawasan pasar Kranggan). Saya lupa persisnya, yang pasti Iko sudah menjabat sebagai anggota DPR RI dari PDIP. Proyeksi besarnya adalah menyiapkan Iko sebagai orang muda menjadi the next RI1 (sebelum Jokowi). Namun karena arus massa lebih menyuarakan Jokowi, maka Iko dipersiapkan untuk periode sesudahnya.
Pada akhirnya, seperti sekarang yang terjadi. Iko tenggelam di balik obsesi besarnya, dari perbincangan politik nasional. Bahkan Iko kalah momentum dengan Anies Baswedan (sebagai tokoh muda juga). Kini bisa ditebak, jika kakak pembina ada di kubu Anies lalu Budiman di kubu Prabowo, kemungkinan apa yang terjadi? Tentu tidak sulit dianalisa menggunakan teori bodon saja.
Ya, mereka akan menyatukan gerbong untuk bisa menggemboskan dan mengalahkan PDIP mencetak hatrik kemenangan. Tentu saja langkah brutal Iko ini tidak disukai bahkan mendapat serangan dari alumni aktivis 98, termasuk saya sangat menyayangkan. Salah satu musuh aktivis 98 ketika itu adalah militerisme/militeristik, makanya dalam gerakan reformasi ada tuntutan pembubaran Dwi fungsi ABRI.
Militer akan bahaya jika ikut dalam percaturan politik sipil, seperti yang sudah terjadi di era orde baru. Belum lagi banyaknya kawan aktivis yang telah menjadi korban dari kekuatan militeristik tersebut. Iko dapat saja mengatakan berdamai dengan masa lalu, tapi tidak harus mengemis posisi atau menghamba kepada calon kandidat yang mengaku lebih militer ketimbang militer.
Iko sudah memiliki partai politik yakni PDIP, harusnya semua ide gagasan politiknya bisa dibahas di sana. Jika Iko seorang Nasionalis-Sukarnois, maka di PDIP lah tempatnya menggembleng dan menguji semua obsesinya. Meski saya paham dia ingin membuat sejarahnya sendiri, silahkan. Maka sejarah akan mencatatnya sekadar sebagai seorang petualang politik.
Seorang petualang politik itu tidak segan menghancurkan reputasinya yang sudah baik selama ini hanya karena memenuhi kepentingan sesaat yakni hasrat berkuasa (meski tujuan politik memang meraih kekuasaan). Namun begitu, saya hormati putusan politiknya, dan saya siap bertarung dengan “saudara seperguruan” demi prinsip: Tolak Militerisme, Tolak Radikalisme!!
Sumber : Status Facebook Agung Wibawanto
Comment