by

Baca Kitab VS Bedah Sejarah

Oleh : Ahmad Sarwat

Di berbagai negeri Islam, kitab karya para ulama yang ditulis sekian abad yang lalu banyak yang masih dijadikan sebagai sumber rujukan agama primer.

Beberapa di antaranya bahkan diijazahkan oleh para ulama dan kiyai yang langsung punya sanad dari penyusun kitab itu.

Saya membayangkan betapa panjangnya rangakaian sanad pengajaran sebuah kitab. Sebutlah misalnya kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i yang wafat tahun 204 H.

Sekarang sudah tahun 1445 Hijriyah. Lebih 12 abad rangkaian sanadnya.

Padahal kitab itu ditulis dalam konteks kehidupan di masa itu. Secara nalar logika, latar belakang penulisan kitab itu pastinya karena ada kebutuhannya yang untuk ukuran zamannya pasti amat dibutuhkan.

Maka isi kitab itu pastinya menjawab dan menjabarkan problem metodologi istimbat di bidang Ushul fiqih oleh Al-Imam Asy-Syafi’i kala itu.

Tentu sebagai kitab yang ditulis di zamannya, apa menjadi kebutuhan masa itu sudah terselesaikan.

Namun secara nalar, dengan bergantinya zaman dan beragamnya level para pembelajar, pastinya kebutuhannya meningkat dan lebih meluas.

Maka para ulama di masa berikutnya menulis lagi kitab-kitab yang sekiranya bisa menjawab masalah-masalah di zamannya. Dan begitulah, di sepanjang sejarah, para ulama tidak pernah sepi dari sumbangsih kepada realitas kehidupan di masing-masing timeline sejarah.

Di setiap lini waktu selalu kita temukan karya agung para ulama. Memang kesannya seperti pengulangan belaka. Padahal sebenarnya selalu ada kebaruan-kebaruan, yang boleh jadi di masa sebelumnya belum terlalu mendapat perhatian.

Maka kalau kita teliti rangkaian kitab para ulama dari masa ke masa, kita akan bisa membuat semacam map / peta dan grafik pertumbuhan sebuah cabang ilmu seiring perkembangan zaman.

Maka tugas kita di masa sekarang tidak hanya berhenti pada membaca kitab klasik tertentu yang ditulis sekian abad yang lalu, tetapi juga perlu membuat peta perjalanan perkembangannya konten-kontennya dari waktu ke waktu, sepanjang sejarah hingga hari ini.

Maka menurut hemat saya, membaca kitab klasik itu bagian dari kajian sejarah perkembangan ilmu keislaman. Sebab posisi kitab klasik itu memang bagian dari sejarah.

Dan namanya zaman, pastinya selalu mengalami dinamika yang tidak pernah berhenti. Masing-masing kitab klasik warisan para ulama di masa lalu telah sukses menunaikan kewajibannya dan sukses atas tanggung jawabnya membaca dinamika realitas di masing-masing masanya serta memberi solusinya.

Lalu bagaimana dengan dinamika di masa sekarang?

Tentu menjadi giliran para ulama di masa sekarang untuk menunaikan tugas zaman, yaitu membaca zaman dan memberi berbagai solusinya, dalam bentuk karya kekinian.

Tugas dan karya ulama kekinian nantinya akan ditagih oleh generasi anak cucu kita di abad-abad mendatang. Jangan sampai mereka kebingungan, kenapa di abad 14-15 Hijriyah terjadi missing link dan kekosongan karya ilmiah?

Jangan-jangan bukan karena tidak ada ulama, tetapi karena masih terlalu asyik mengurusi kitab klasik dan membahas hal-hal yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari sejarah.

Nah tema-tema yang kayak begini ini agak susah menemukan teman diskusinya. Boleh jadi agak pusing juga kalau disuruh menanggapi.

Hehe

Sumber : Status Facebook Ahmad Sarwat

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed