by

Tulisan tentang Puan: Dulu, Kini dan Nanti (1)

Oleh: Andi Setiono M

Mencari data tentang Puan Maharani di internet itu gampang-gampang sulit. Datanya standar banget, dan dimana-mana isinya sama. Nyaris datar, walau tak tampak ada pengendalian informasi di dalamnya. Tapi sekaligus tak ada upaya untuk “memblow-up” dirinya. Mangkanya, beredarnya banyak baliho dianggap “salah mangsa”, tak tepat waktu. Dan karena tak tepat waktu, implikasinya panjang dianggap kurang punya empati, terlalu narsis, mencuri start, dst, dst.

Benarkah begitu? Ada apa sebenarnya di balik fenomena tak umum ini?

Karena itu, perkenankan saya berbagi cerita sedikit tentang dirinya. Kebetulan saja, karena saya se-kampus dengan dirinya. Tentu saya jauh lebih tua darinya. Saya pilihkan tiga cerita sederhana saja, dari barangkali puluhan cerita lain yang saya punya. Sebuah kisah hal-hal biasa yang bagi saya justru lebih mudah menjelaskan suatu fenomena besar. Yang terkadang tak terjelaskan oleh suatu teori politik mana pun. Dalam ilmu politik yang saya pelajari, sebenarnya tak ada teori tertentu yang spesifik.

Politik itu adalah melulu pandangan, sikap, dan perilaku individu. Yang jika diperlebar menjadi komunitas, organisasi, masyarakat, hingga jika berhasil jadi patokan sebuah bangsa. Politik itu bukan ilmu murni, di dalamnya campur aduk berbagai ilmu lain saling-silang tidak karuan. Filsafat, psikologi, sosiologi, historis, marketing. Menjelaskan kenapa akan makin kacau bila agama dimasukkan ke dalamnya….

Sebagai awal saya ajukan tiga cerita. Kebetulan ketiganya terkait dengan masa lalu Puan, ketika ia masih kuliah di Kampus FISIP UI. Bagi saya pribadi, kampus ini adalah yang paling asyik sak-Endonesah. Ya pergaulannya, suasananya, kuliahnya, cari duitnya, dosennya. Bagi anak laki2, pergi ke kampus adalah “never ending story of cuci mata”. Tersebab lebih sulit cari perempuan kurang cantik, daripada yang cantiknya. Weleh weleh….

Pertama, ini kesaksian saya sendiri. Sependek ingatan saya, dan setelah saya konfirmasi juga dengan teman2 sekampus. Puan Maharani adalah anak Jurusan Komunikasi Angkatan 1990 (saya koreksi yang bener anak 92). Pada masa yang sama, kok yang ndilalah dua cucu Sukarno ada di angkatan itu. Satu yang lainnya, adalah Puti yang anaknya Guntur Sukarno. Puti baru lalu kalah dalam pecalonan Cawagub di Jawa Timur. Puan menjadi sangat menonjol karena pilihan berpakaiannya yang “sangat Indonesia”. Di tengah gaya berpakaian anak Jakarte, paduan blue jeans dan T-Shirt atau kaus Polo. Puan sering saya lihat menggunakan paduan rok batik dengan blouse putih berenda, sejenis kebaya ala Bali.

Saya pas melihatnya pertama kali, berseloroh pada sahabat saya sesama “anak daerah”: “Kuwi sapa to, kok beda dewe?”. Dijawab oleh sobat saya, yang baru setahun lalu meninggal (juga) karena Covid-19: “Kuwi putune Sukarno, anake Megawati.” Semasa itu, Puan belumlah se-chubbi sekarang, dengan potongan rambut sasak dan pipi tembem. Ia malah tampak seperti putri Keraton yang kesasar. Saya menduga figur seperti dialah, yang kemudian menginspirasi anak FISIP lainnya yaitu Nugie (adiknya Katon Bhagaskara, yang pernah jadi iparnya iparnya Ira Wibowo) itu menciptakan lagu skate-rock berjudul “Tertipu”.

Alim tak bertingkah /
Layaknya seorang putri dari keraton /
Manis tutur kata /
Dari mulut yang terbungkus norma norma /

Intinya, Puan yang memiliki kepribadian pendiam dan anteng itu, telah menunjukkan karakter unik “berani beda”. Dalam arti ia memiliki benang merah nasionalisme yang kuat. Ia paham dengan apa itu “personal character branding”. Ia tidaklah seseorang yang tiba-tiba. Persoalannya, kenapa tiba2 ia tampak berubah? Kita jawab dalam tulisan selanjutnya.

Kedua, ini cerita seorang teman seangkatan yang karena kebiasaannya genjrang-genjreng di kampus tak kenal waktu. Memang di FISIP UI terdapat beberapa kelompok idola musik, yang kebetulan memang lahir di kampus ini. Ada PSP (Pancaran Sinar Petromaks) yang terkenal dengan lagunya Gaya Mahasiswa dan Fatimah. Lagu ini, nyaris tiap hari terdengar di kampus. Belum lagi lagu2 plesetannya anak2 Warkop, yang sering dilantunkan Kasino macam Andeca-Andeci atau Chinese Song yang ngasal berbau bahasa China itu. Keasyikan seperti ini, yang pada awal tahun 1990-an mudah ditemukan di kampus ini. Kegembiraan yang murah, merakyat, dan menjelaskan kenapa ia malah berjejak panjang.

Mungkin karena terkesima dengan suasana itu, dan kayaknya anak2 itu gak kunjung “naik kelas”. Puan berinisiatif baik, untuk mengundang mereka latihan nge-band di rumahnya. Dan terbitlah suatu cerita lucu yang legendaris. Tiba-tiba, saat sedang berlatih (tentu itu saat pertama kali). Sang ibu, si tuan rumah, muncul dari balik pintu: marah-marah, karena merasa terganggu, dianggap terlalu berisik. Saya bisa bayangkan “cengok”-nya anak2 pada saat itu. Biasa nyanyi di ruang terbuka, sekeras-kerasnya agar didengar sampai ke seluruh sudut kampus. Tiba2 main di rumah gedongan yang steril, hening, sunyi, senyap. Yang jarum jatuh saja, bisa terdengar. Ini tiba2 kedatangan “para pengamen urakan…”

Bagian ironisnya. Tak lama kemudian si ibu, yang kita tahu tentu saja ia adalah Megawati, dengan segera menyadari kesalahannya. Lalu segera menyiapkan makanan, mengundang dan menyuruh anak2 itu makan bersama. Puluhan tahun, kemudian peristiwa seperti ini berulang. Setelah selesai Pilpres 2019, terjadi peristiwa brutal, penolakan koalisi Prabowo hingga menelan belasan korban. Tak lama kemudian, Megawati mengundang Prabowo ke rumahnya. Membuatkan nasi goreng, lalu mengundang masuk “rival politiknya” itu ke dalam Kabinet Jokowi Kedua. Sampai hari ini saya tak bisa kunjung paham, kok bisa ya.

Rakyat biasa seperti kita akan mudah terjebak pada pertanyaan: “Atine ki loh nang ngendi, perasaanne ki piye”. Kelas rakyat itu memaafkan hal kecil saja sulit, apalagi dalam persoalan berbangsa…

Ketiga, ini sebuah cerita dari seorang sahabat di Jogja. Sebuah komentar di tulisan saya terdahulu. Bahwa pada saat KKN di Klaten, Puan adalah satu2nya anak yang hanya turun dari loteng ketika makan. Selebihnya ia menyendiri dan gak gaul dengan teman-temannya. Belakangan masyarakat desa itu tahu, bahwa ia adalah cucunya Sukarno. Mereka maido, mempertanyakan: kok beda dengan kakeknya yang merakyat. Sependek yang saya tahu, di FISIP itu tidak ada KKN, tapi sebuah mata kuliah khas fakultas ini yang namanya Metode Penelitian Masyarakat (MPM). Itu terbagi MPM 1 dan MPM 2.

Di tengah2nya ada suatu kuliah lapangan sekira dua minggu, ke suatu desa yang pilihannya selalu jauh dari Jakarta. Biasanya dipilih kalau tidak Jogja, ya Jawa Tengah. Pokoknya kota2 yang terlewati jalur kereta api ekonomi..

Karena di FISIP, sebagaimana trend yang mulai berlaku umum. Menggunakan sistem SKS, dimungkinkan seorang tidak selalu mengambil mata kuliah yang terus barengan dengan teman2 seangkatannya. Entah apa alasannya, ketika tiba waktunya turun lapangan, Puan tidak berbarengan dengan teman2 seangkatannya. Saya bisa bayangkan, cucu presiden di usia mudanya, berusia dua puluhan terjebak ke sebuah desa yang tak dikenalnya. Tak pernah tahu, bahwa kakeknya adalah “sejenis nabi”. Seorang messiah yang membebaskan negaranya dari penjajahan akut di desa yang terkenal sebagai penghasil beras terbaik dan terenak di Pulau Jawa itu. Tapi, kemudian saat cucunya mampir, warga merasa tak disapa.

Padahal jangankan dengan situasi lingkungan desa itu, hawong dengan teman2 sepe-berangkat-annya pun ia asing. Ia tak kenal, karena beda jurusan, beda angkatan. tak pernah sekelas. Watak “gawan bayi, bawaan orok” bahwa ia sangat mudah terstigma sebagai cucu presiden, yang kemudian bertambah sebagai anak presiden inilah. Ia harus memanggul beban harapan yang terlalu tinggi di pundaknya.

Puan adalah figur unik di panggung politik Indonesia: ia cucu presiden, anak presiden. Yang kemudian jadi menteri, dan kemudian jadi Ketua DPR-RI. Menjelaskan kenapa nama tengah yang paling tepat bagi dirinya adalah “fitnah”. Salah sangka, penyangkalan, merendahkannya barangkali sudah biasa ia terima. Tidak saja di hari-hari ini, tapi jauh hari sebelumnya.
Sejak dulu, ketika ia masih jadi anak macan, ketika ia belum lagi jadi apa-apa. Apalagi sekarang ketika, ia sudah berubah Harimau Jawa. Dianggap sekedar mitos, tapi kemudian ternyata balihonya ada dimana-mana….
(BERSAMBUNG)
.
.
.
NB:
Puan dan Mega itu adalah satu muka keping mata uang. Muka keping lainnya bisa siapa saja. Kita boleh tidak suka pada sepak terjang dan kehadirannya. Tapi kita harus akui bahwa keduanya adalah potret terbaik dari kontinuitas dinasti politik yang konsisten. Bukan pada persoalan estafet kekuasannya, tapi terutama juga menyangkut ideologi, nilai-nilai dan sejarah perjuangannya.

Sesuatu yang selalu kita salah pahami sebagai suatu yang buruk, kuno, dan usang. Tapi sebuah bangsa tak lagi punya harga dan masa depan, tanpa ideologi dan nilai yang diwariskan oleh pendahulu dan para bapak bangsa. Di sinilah arti penting kedua perempuan itu. Keduanya bisa saja salah langkah, tapi bukan berarti kita berhenti mencari pemahaman persoalan daripadanya.

Untuk apa? Untuk membantu mengkoreksi dan memperbaikinya. Demi apa? Demi kelangsungan masa depan bangsa ini sendiri…

(Sumber: Facebook Andi Setiono)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed