Oleh : Gunadi
Kemunduran itu adalah ketika daerahmu ingin sistemnya diperbaiki, tapi pemangku kebijakannya justru ingin kembali ke jaman baheula. Belakangan inl banyak kita liat box tiket parkir yg tidak berfungsi & ratusan mesin parkir meter nganggur di sejumlah titik, utamanya di daerah Kelapa Gading Boulevaard, Jl Agus Salim Sabang, dan Falatehan Blok M. Kenapa di 3 tempat tsb? Karena mmg ditempat tsb lah awal2 proyek percontohan tiket parkir elecktronik diterapkan di Jakarta sekitar Agustus tahun 2015.
Padahal ada potensi pemasukan resmi ke dispenda tapi malah milih pemasukan yg remang2 spy oknum aparat & birokasi bs bermain mata dgn ormas.
Tujuan TPE yang dipasang sejak Agustus 2015 tsb untuk menekan kebocoran dan mengurangi kemacetan di ruas jalan yang menyediakan parking on the street. Faktanya justru terbalik. Mesin parkir banyak yang tak berfungsi, bahkan juru parkir seenaknya memungut tarif dan kemacetan tak bisa dihindarkan, terutama pada jam-jam sibuk.
Dulu jaman Ahok penerapan parking meter atau Terminal Parkir Elektronik (TPE) pada parkir on street di beberapa kawasan di Jakarta telah mendongkrak penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) DKI Jakarta.
Pemprov DKI Jakarta mengantongi 30% dari hasil retribusi TPE dan PT Mata Elang Biru mendapat 70%. Seluruh biaya untuk pengadaan mesin dan investasi dibebankan ke PT Mata Elang Biru.
Pengeluaran terbesar dialokasikan untuk investasi alat, operasional, dan gaji juru parkir. Karena itu pengelola mendapat bagian yang lebih besar daripada Pemprov DKI Jakarta.
Seperti misal di jalan Agus Salim (Sabang) Sebelum TPE diterapkan di jaman Ahok, setoran ke dispenda cuma sekitar 500.000rb/ hari. Setelah dipasang alat, transaksi(setoran ke daerah) meningkat menjadi 12.000.000/ per hari!
Contoh lain adalah Jalan Falatehan, Jakarta Selatan, dan Jalan Boulevard, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ia menyebut untuk di Jalan Falatehan, saat awal tiket parkir diterapkan pd Agustus 2015n pendapatan daerah yang masuk dari parkir on street di jalan tersebut mencapai Rp 7 juta per hari, dari sebelumnya Rp 280.000
Kalau di Jalan Boulevard, Kelapa Gading, sebelum diterapkan pendapatan ke dispenda cm Rp 470.000 per hari, ketika menggunakan parking elekrronik jumlahnya lebih gila lagi, meningkat Rp 40 juta!
Kita kali aja pemasukan dispenda dari 3 tempat tsb, misal di Kelapa Gading tadi 30% x 40 juta per hari= ? Per bulan = ? Per tahun =?
Jadi jangan pernah bilang warga 58% yg dulu doyan demo2 Ahok itu semuanya suka sm nasi bungkus.
Mrk2 itu jg punya kepentingan sendiri utk dukung sosok yg menguntungkan mrk. Siapa mrk? Ya ormas2 itulah yg “bermain” dgn aparat dan oknum2 SKPD.
Jadi klo kadang2 mrk mesti turun ke jalan utk mendukung sosok yg menurut kacamata masyarakat umum kinerjanya buruk, itu karena mrk ingin menyelamatkan periuk nasinya sendiri.
Paham nggak lu drun?
Sumber : Status Facebook Gunadi
Comment