by

Tentang Respek

Oleh : Hendrawan Nadesul

Saya kagum terhadap orang yang bersikap hidup egaliter, tidak memandang status dan derajat terhadap orang lain. Saya mengagumi pimpinan yang mau menyapa dulu setiap bawahannya. Orang dengan status dan kedudukan lebih tinggi, umur lebih tua, mau menyapa lebih dulu terhadap bawahan dan yang lebih muda, itu sebuah kerendahan hati. Saya melihatnya pada sosok Pak Jakob Oetama, almarhum, Kompas.

Sejak kecil saya dididik untuk menjadi bersikap demikian, dan merasa kurang nyaman kalau melihat, bertemu, orang-orang yang sudah sering berpapasan bertemu, yang belum kita kenal, bersikap tidak bersahabat. Alih-alih menyapa, tersenyum, melirik saja pun tidak. Prihatin karena mereka orang terdidik.

Orang-orang tidak terdidik, mungkin karena tidak tahu etiket kalau mereka bersikap tidak bersahabat, atau tidak terbiasa menyapa, atau harus bagaimana seharusnya bertata krama menghadapi orang lain, hidup bermasyarakat galibnya. Tapi menjadi aneh kalau mereka orang terididik, apalagi terpandang, atau punya nama besar.Saya mengalami beberapa orang dengan nama besar yang kurang bertata krama, menurut ukuran galibnya kita bermasyarakat. Ada banyak pernik bagaimana kita beretiket dalam pergaulan sosial keseharian.

Tata cara bermedsos yang beretiket, tata cara bergawai yang beretiket, dan hal lain. Bagaimana eloknya menyapa, dan berkomunikasi. Dan itu buah didikan dari rumah dan sekolah. Protokol tiga pilar etiket awal sekaligus beretika, sebagaimana anak sekolah di Jepang menerima didikan ungkapan: “tolong”, “maaf”, “terima kasih”. Setiap anak generasi unggul semestinya wajib dibekali basik bertata krama tiga pilar itu.

Era saya dulu, Angkatan Baby Boomers, ada pendidikan budi pekerti, selain yang saya terima dari rumah, dan bacaan. Itu sebab saya merasa tidak nyaman kalau melihat, apalagi menghadapi dan mengalami sendiri sikap orang-orang yang kurang tahu aturan terhadap kita, yang kurang elok bertata krama, bukan lantaran kita gila hormat. Saya kira semua yang dididik bertata krama demikian akan merasakan seperti yang saya alami. Ditambah wawasan humanitarianism, humaniora, memilih sikap tidak suka menghamba, atau risau terhadap hegemoni, atau sikap keningratan.

Menjadi tidak respek lagi terhadap mereka yang di depan umum kurang elok sikapnya. Memperlihatkan kesenangan, kejumawaan, kalau dia terlihat serba dilayani, bukan sebagai yang sepantasnya. Saya melihat seorang wartawan senior olahraga turun dari mobil dibukakan pintu, dibawakan tasnya, tak pantas kita melihatnya. Bukan sekelas menteri, minta dibawakan berkas pidato, kacamatanya ke atas podium. Bukan siapa-siapa, hanya karena punya nama besar memilih duduk di depan, dan marah ketika panitia memintanya pindah ke belakang di sebuah perhelatan.

Menyaksikan itu semua, saya dan saya kira semua dari kita menjadi tidak respek lagi terhadapnya. Sebaliknya menyaksikan Presiden Jokowi mengurangi keinginan dilayani selama itu bukan protokol wajib, misal memegang payung sendiri, hormat kepada pihak yang lebih tua, bertambah respek kita menyaksikannya.

Sebagai dokter saya kerap menghadapi hal-hal demikian. Menerima ada yang berkonsultasi lewat gawai, misal, tanpa ba-bi-bu tanpa menyapa, tanpa menyebut nama, langsung menyampaikan keluhan dan bertanya apa obatnya, dan setelah diberi tahu nasihat medis dan obatnya, tidak ada ungkapan terima kasih. Mereka ini orang terdidik, dan ada pula yang punya nama besar. Oleh karena saya tidak sampai melakukan hal yang seperti itu, maka saya merasa kurang nyaman diperlakukan begitu.

Maka saya menjadi tidak respek lagi. Walaupun saya kerap menghadapi hal kurang nyaman seperti itu, saya merasa tidak tega, malah berbalik merasa kasihan bila menghadapi orang-orang seperti itu Merasa sayang dan prihatin ada orang terdidik, dan nama besar kok tak elok sikapnya. Buat generasi millenial, hal tak elok begini mungkin bukan soal benar. Mereka tidak terkungkung oleh hal-hal bertata krama sepernik itu.Untuk mereka yang tidak terdidik, terdidik tapi bersikap tidak beretiket, tentu bukanlah suatu kejahatan, melainkan hanya kurang elok saja, kurang senonoh, kurang santun.

Apa hukumnya orang yang bersikap tidak beretiket demikian dalam pergaulan sosial, tentu tidak ada. Hanya membuat orang yang mengalaminya tidak menaruh respek saja lagi. Misalkan lagi, apa hanya karena merasa kaum perempuan, maka harus disapa dulu oleh kaum pria. Kalau saya ungkapkan ihwal ini, hanya untuk pembelajaran semata, karena mungkin saja saya pun dianggap, dipersepsi, pernah melakukan hal kurang senonoh lainnya entah terhadap siapa. Namun tentu itu bukan kesengajaan, melainkan keluputan. Misal kalau itu di luar kendali saya. Misal, terlewat atau terluput tidak menyapa seseorang di medsos, tidak merespons postingan seseorang di medsos, atau di WAG, tentu itu bukanlah sikap saya untuk sengaja melakukan itu.

Saya dididik dan memilih sikap hidup untuk selalu bukan saja berbuat baik, melainkan memerhatikan pula perlu elok caranya.

Salam sehat,

Sumber : Status Facebook Dr HANDRAWAN NADESUL

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed