by

Surat Terbuka untuk Pak Pendeta Gilbert Lumoindang

Oleh: Raymond Liauw

Shallom Bapak Pendeta Gilbert.

Awalnya saya agak ragu untuk menulis surat terbuka ini untuk Bapak mengingat nama besar Bapak cukup terkenal sebagai seorang Pendeta yang menggembalakan umat-Nya.

Namun, saya pikir tidak ada salahnya saya menanggapi kritikan Bapak terhadap aksi seorang Pawang Hujan pada acara balapan MotoGP Mandalika 2022 beberapa waktu lalu.

Saya dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia dan sejak tahun 1994 saya sudah mulai merantau keluar Indonesia. Saat ini saya menetap di USA, namun bukan berarti saya tidak peduli lagi dengan tanah kelahiran saya, Indonesia.

Saya dilahirkan sebagai seorang Kristiani dan sewaktu saya masih di Indonesia pernah beberapa kali diajak oleh orang tua saya ke Persekutuan Doa Almarhum Bapak Pendeta J.E Awondatu.

Saya juga masih ingat ketika masa kecil, saya bermain dengan teman teman dari berbagai suku dan berbeda agama. Persahabatan kami tidak ada jurang pemisah dan tidak tersekat dengan perbedaan suku dan perbedaan agama.

Kalau kami lelah bermain, kami beristirahat tidur tiduran di dalam Masjid dekat rumah. Semuanya terasa begitu indah, damai dan penuh keakraban.

Namun, kini semua keindahan yang pernah saya alami itu sudah tidak lagi dinikmati oleh sebagian rakyat Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa sekarang intoleransi kian berkembang dan semakin menjamur. Keindahan toleransi telah terkontaminasi dengan racun politik.

Aksi penyegelan gereja secara paksa, pembubaran persekutuan doa dengan paksa, pelecehan dan penghinaan agama / keimanan kaum minoritas semakin banyak. Kaum minoritas yang saya maksud adalah bukan hanya kaum Kristiani tetapi juga umat Hindu, Budha, Aliran Kepercayaan, Shiah, Ahmadiyah,…….

Bukan hanya saya yang sudah lelah dan muak melihat ketidak adilan dalam penerapan Hukum Penistaan Agama yang ada di Indonesia. Makadari itu bermunculan kotbah kotbah keras dari para Pendeta Kristen melawan ketidakadilan ini bahkan mereka menggunakan cara ekstrim yang kesannya mencibir agama dan ajaran Islam.

Kalau saja para Pendeta tersebut bisa lebih bersabar dan mampu bertahan untuk tetap “Memikul Salib Kristus”, maka saya yakin tidak ada Pendeta yang dijebloskan ke penjara dengan tuduhan menghina Islam.

Setiap orang yang mengaku sebagai seorang Kristiani dituntut untuk tetap sanggup “Memikul Salib Kristus” bersama Kristus. Mereka harus rela menerima dicaci maki, dihina, dinista bahkan di6unuh demi Yesus Kristus.

Di Indonesia, hampir tidak pernah terjadi atau mungkin memang tidak pernah terjadi dimana ajaran Kearifan Lokal merusak gereja, membubarkan persekutuan doa atau membuat keonaran dengan pemeluk agama lainnya. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka adalah bagian dari alam dan alam adalah bagian dari mereka oleh karena itu mereka akan terus berusaha menciptakan kedamaian dan ketentraman. Mereka melakukan berbagai ritual yang mereka anggap suci agar Tuhan berkenan mengabulkan doa doa mereka, salah satunya adalah ritual memohon kepada Sang Pencipta atau kepada alam untuk menghentikan hujan yang dilakukan oleh Pawang Hujan.

Bapak Pendeta Gilbert yang saya hormati, dalam kapasitas Bapak sebagai seorang Pendeta saya tidak menyalahkan Bapak untuk berkotbah kepada para Jemaat di gereja Bapak bahwa apa yang dilakukan oleh Pawang Hujan bukanlah bentuk ajaran Kristus, tetapi itu sebatas Bapak lakukan terhadap para Jemaat gereja Bapak.

Namun, kritikan Bapak terhadap Rara – seorang Pawang Hujan di media massa secara terbuka adalah suatu hal yang sudah kebablasan. Apalagi Bapak juga meminta Presiden Jokowi untuk berhenti mempraktekkan hal – hal yang berbau klenik, karena menurut Bapak bahwa upacara tersebut ada campur tangan iblis.

Menurut keimanan Bapak Gilbert, seorang Pawang Hujan bekerjasama dengan Iblis untuk menghentikan hujan, namun menurut keimanan si Pawang Hujan ritual tersebut adalah permohonan kepada alam dan Sang Pencipta, bukanlah kerjasama dengan Iblis.

Jadi, Bapak Gilbert memiliki keimanan yang berbeda dengan keimanan si Pawang Hujan. Perbedaan keimanan itulah yang seharusnya dihormati oleh setiap orang, bukannya malah dikritik apalagi mengajak orang lain (bukan Kristen pula) untuk menjauhinya.

Kenapa tidak sekalian saja Bapak Pendeta Gilbert mengajak Presiden Jokowi untuk menjadi murtadin (jadi Kristiani) agar beliau mau mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Barangsiapa yang percaya kepada-Nya akan beroleh hidup kekal.

Mudah mudahan untuk ke depannya, Bapak Pendeta Gilbert bisa lebih bijaksana lagi dalam memberikan komentar apalagi terhadap suatu keyakinan yang dimiliki oleh orang lain yang bukan Kristiani.

Sekian surat ini saya tulis di meja kerja saya dan terima kasih atas waktu yang Bapak pakai untuk membacanya.

Salam dari kami sekeluarga di tanah rantau.

Raymond Liauw

(Sumber: Facebook Raymond Liauw)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed