Oleh : Sunardian Wirodono
Dengan temuan Ombudsman DIY, atas yang terjadi di SMAN I Banguntapan, Bantul, DIY, apalagi juga dari penyelidikan Inspektur Jenderal Kemendikbudristek RI (4/8/22), sebenarnya sudah jelas.Yang terjadi adalah pelanggaran Permendikbud nomor 45/2014.
Yang melakukan pelanggaran aturan Pemerintah itu, adalah aparat Pemerintah –dalam hal ini kepala sekolah dan guru sebagai PNS yang ditugaskan di sekolah Negeri di bawah Kemendikbudristek RI. Bahkan jika merujuk beberapa aturan di bawahnya, misalnya: Perda tentang Keistimewaan DIY, kerukunan beragama dan toleransi, dalam hukum perdata kasus Banguntapan itu sudah ditangani dengan benar dan proporsional. Sangsi administrasi, hukuman pencopotan status/jabatan, adalah resiko-resiko hukum perdata.
Namun sesudahnya, muncul gerudugan Laskar Islam dari berbagai penjuru DIY, bahkan luar wilayah. Menyatakan dukungan pada apa yang dilakukan Kepsek dan Guru SMAN I Banguntapan. Ini sudah tidak proporsional. Belum pula datangnya kiriman karangan bunga dari yang mengaku alumni sekolah tersebut. Mereka mendukung tindakan ‘penjilbaban’ dan merundung murid yang diposisikan negatif. Itu namanya menggoreng-goreng masalah. Sampai dibela-belain borong karangan bunga. Niat banget.
Bukan hanya itu, masalah jadi melebar ketika yang dikelompokkan dalam jajaran elite, seperti dosen (konon ahli filsafat dari UWM, juga mengaku pembela Keistimewaan Yogyakarta), mengritik kebijaksanaan yang diambil Gubernur DIY sebagai kebijaksanaan yang bias. Demikian pula ada anggota DPRD Tingkat I (DIY) dan II (Bantul) yang mempersoalkan penanganan atas ‘oknum’ SMAN I Banguntapan sebagai berlebihan. Katanya justeru menimbulkan masalah baru. Pendapat mereka, menunjukkan mereka tidak menghargai konstitusi, hukum, aturan yang sudah disepakati sebelumnya, di mana secara kelembagaan ‘mereka’ juga terlibat dalam proses penggodogannya. Inkonsisten atau leda-lede, sayangnya tak ada dalam bahasa Arab.
Pembelaan-pembelaan itu disertai bias argumentasi. Tak ada salah dalam Permendikbud 45/2014 itu, sebagai hukum internal lembaganya. Apalagi tak ada larangan penggunaan jilbab atau ‘kostum’ keyakinan agama lain-lainnya. Murid Katholik, Islam, Hindu, Buddha di sekolah Negeri tak dilarang menggunakan pakaian yang diyakini sesuai syariatnya. Walaupun kita tahu, syariat berpakaian itu sendiri, pada sing-masing agama (sampai hari ini tetap) berada dalam perdebatan para ahli sing-masing, dengan mazhab sing-masing pula. Mungkin sampai kiamat.
Padal sesungguhnya mudah saja, jika tak setuju dengan Permendikbud 45/2014, bagi para PNS yang bekerja di bawah Kemendikbudristek sebagai ASN atau PNS. Yakni, ibarat makmum dalam shalat jama’ah, lakukan saja mufaraqah. Keluar dari barisan. Kemudian bikin lembaga pendidikan sendiri, bikin aturan sendiri, bikin raport sendiri, bikin ijazah sendiri, bikin seragam sendiri. Hingga bisa berdakwah lebih dari 24 jam sehari. Jika dianggap kurang jam, protes pada tuhan, minta tambahan waktu sehari 48 jam.
Argumentasi kelompok funamik ini; Jadi PNS maunya terima gajinya saja, tetapi menolak kewajiban tugasnya, meski sebelumnya sudah bersumpah setia. Selalu pandangan normatif yang dikemukakan. Dan pembiasan masalah, tampaknya sengaja dipakai untuk mengundang empati atas nama sentimen agama. Bila Pemerintah tidak tegas menegakkan aturan, maka hal-hal semacam ini akan di-challenge terus oleh pihak-pihak yang suka menggoreng-goreng masalah. Mungkin karena minyak goreng mahal, maka mereka menggoreng dengan isu.
Sekecil apapun celah penggorengan, akan dilakukan. Bahkan, dosen yang ahli filsafat tadi, juga tega-teganya membenturkan dengan kebijakan Kamis Paing Pemerintah DIY, yang juga bisa dipermasalahkan sebagai pemaksanaan. Padal, katanya, baju surjan adalah pakaian takwa yang konon karya Sunan Kalijaga. Saya nggak enak menuliskannya, karena beliau abdi dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Senyampang itu, Bupati Bantul menyatakan; yang terjadi di wilayahnya hanyalah sesuatu yang kasuistik, bukan tersistem. Ya, iyalah. Di mana-mana: kasus dan oknum. Bukan sistem. Tapi karena itu, justeru kasus dan oknum itu mesti ditangani serius. Bila-bila masa terbukti bersalah dalam teksnya, mesti dikenai hukuman sebagai penegakan aturan atau hukum sah yang dianut negara. Protes tanda tak paham. Tak paham tanda tak pantas.
Sayang sekali dari kasus itu, yang diperdebatkan secara konyol selalu ‘peristiwanya’ doang. Bukan biang permasalahan atau akar persoalan. Beberapa sekolah mengatakan terjadinya bias kebijakan karena target akreditasi sekolah. Jika benar, bagaimana kebijakan di atasnya? Gimana Dirjen, Menteri, bahkan Presiden?
Karena jika Bupati Bantul mengatakan bukan sesuatu yang tersistem, bagaimana jika cara beragama yang simbolik dan formalistik itu yang tersistem? Bukankah ini akar masalah yang lebih penting dibahas? Karena itu ada PNS Guru yang menyatakan tidak bersalah dalam mengkorupsi aturan atasannya. Katanya, yang ia lakukan adalah berdakwah! Itu tersistem dalam pola keyakinannya bukan?
Maka pada mereka yang berdagang agama, perlu saya ingatkan, ciyeee. Pada titik ini, Anda bisa tercatat sebagai bagian yang membuat dagangan makin tidak laku. Apalagi jika dakwahnya main paksa; kalau nggak nurut kau masuk neraka! Hambelgedhes. Itu yang menyebabkan agama (apa saja) makin tidak menarik. Bukan karena agamanya, tapi karena caranya. Yang tidak mutu blas itu. Wis ngono, ngentutan meneh! | |
Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono III
Comment