Oleh : Erin Cipta
Aku sedih banget dengar kabar seorang anak miskin di Medan yang sedang ditolong untuk mendapat pendidikan bagus, direncanakan kuliah di kampus terbaik, dan disiapkan untuk memegang sebuah perusahaan, tapi menyerah di minggu pertama ia mulai sekolah.
Farel, anak yatim piatu secara dokumen, ortunya masih ada tapi tidak mengurusnya, bahkan konon mempersulitnya mendapatkan dokumen legal sehingga ia kehilangan banyak kesempatan baik dalam hidupnya. Misal, berangkat umroh yang dibiayai oleh The Sungkar Family.
Anak ini tinggal bersama neneknya, sekolah di sekolah islam swasta di Medan, berprestasi di sana, dan cerita dramatisnya yang berkaitan dengan bapak ibunya begitu popular di tiktok.
Cerita itu sampai ke Dokter Richard Lee. Ah, semuanya pasti tau siapa dokter ini.
Dokter Richard mengangkat Farel sevagai adik, menawarinya pindah sekolah ke salah satu sekolah terbaik di Palembang, membayari kos ber-AC, membelikan motor, laptop, hape, dan berbagai fasilitas yang bikin anak ini nyaman dan tenang belajar. Dokter juga memberi materi untuk nenek yang ditinggalkannya di Medan.
Anak ini mendapat semua privilege tersebut dengan target tinggi: masuk FKUI!
Ini target yang tidak main-main. Berat sekali.
Tapi alternatifnya, bila target itu tidak tercapai pun, anak ini tetap boleh kuliah di mana pun sesuai minatnya, tapi tetap harus berusaha masuk FKUI dahulu.
Intinya, nasib anak Medan ini sedang diukir. Ia menyetujui semuanya, dan Dokter Richard pun menepati janjinya menyiapkan segala keperluannya untuknya.
Sayang sekali….
Baru minggu pertama anak ini sekolah di tempat baru, dia sudah nangis-nangis sambil live tiktok, bahwa ia kena mental. Ia akan mundur dan kembali ke Medan, kembali ke neneknya, meski harus mengganti puluhan juta biaya yang dikeluarkan Dokter Richard.
Aku mengerti jika ia sedang sangat tidak nyaman karena perubahan hidipnya seolah sangat tiba-tiba. Dulu sekolahan mungkin tidak sekompetitif sekolah barunya. Rutinitasnya juga pasti sangat berbeda. Belum lagi ia memikul target dan beban yang teramat berat.
Yang aku tidak bisa mengerti adalah, setelah semua yang pernah terjadi, setelah semua kepahitan yang merundungnya sepanjang hidup, ia memutuskan menyerah hanya di minggu pertama.
Menanggung ekspektasi yang tinggi memang tidak mudah, tapi ini lho baru minggu pertama!
Perkiraanku, anak ini tidak siap. Selama ini dia sudah telanjur nyaman dengan segala cerita sederhana dan kesedihannya. Senang dengan kehidupan pelan dengan main tiktok sepuasnya. Kalau orang Banyumas bilang, “ora kuat drajat”
Satu pernyataan yang ia pakai untuk menutup mulut-mulut julid seperti aku, adalah dengan mengatakan “Ini hidupku, aku berhak atasnya. Ternyata segala kemewahan ini tidak membuatku bahagia”
Waduh… Terlalu terburu-buru untuk bilang “kemewahan” dan “kebahagiaan” pada minggu pertama anak ini dicemplungkan ke kawah Candradimuka.
Sekolah dan kos bagus, kendaraan dan gadget keren, dan segala yang ia terima dari Dokter Richard itu bahkan bukan sebuah kemewahan. Itu adalah “alat perang” bagi dia belajar sungguhan untuk target setinggi FKUI.
Bahagia?
Tunggu…. Ini adalah saatnya berjuang. Kebahagiaan macam apa yang dia harapkan dalam masa-masa berjuang? Tiktokan sepuasnya sambil cerita kesedihan?
Oh no…..
Masa berjuang adalah masa untuk menunda kenyamanan. Delayed gratification, alias the act of resisting an impulse to take an immediately available reward in the hope of obtaining a more-valued reward in the future (nyonto di gugel)
Mau ngomongin mental health?
Aku bukan ngga peduli sama anak muda ini ya, tapi kondisinya yang (maaf) miskin, memang menuntutnya harus mau menunda kenyamanan.
Ah embuh lah… Makin panjang aku nulis, makin gregetan aku sama keadaan ini.
Mungkin memang aku harus mengerti bahwa ngga semua orang ingin melenting dan melompatkan nasibnya setiap ada kesempatan. Akan tetap ada orang yang tidak ingin dibanduli beban, meski beban itu berlaku laksana jangkar kepada kapal: menjaganya agar.tidak terombang-ambing gelombang.
Sumber : Status Facebook Erin Cipta
Comment