by

Nasib RPTRA Jaman Anies

Era Ahok dicetuskan program Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), dan Taman Amir Hamzah dipilih sebagai lokasi RPTRA Kel. Pegangsaan. Dalam waktu sekitar 3 bulan, terwujudlah semua yg diinginkan masyarakat (kecuali kelompok masyarakat remang” lovers) seperti terlihat dalam foto kolasi ini. Mulai dari PAUD, kegiatan olahraga sekolah lokal, Posyandu, senam ibu-2, latihan beladiri, seni drama, skateboarding, parkour dan sampai pengajian umum bergantian mengisi taman ini bersama dgn masyarakat umum yg sekedar santai, jalan-2 atau ngopi bersama rekan. Harapan pun muncul, agar taman RPTRA seperti ini bisa dibangun merata di seluruh Jakarta untuk meminimalkan pengaruh lingkungan negatif terhadap perkembangan anak…dan harapan itu hampir saja terwujud…

Puncak dari semua ini adalah RPTRA Kalijodo yg dibangun menggantikan lokalisasi prostitusi favorit di Jakarta. Mungkin untuk pertama kalinya seorang istri atau ibu tidak merasakan kerisauan ketika suami atau anaknya pamit untuk main di Kalijodo. Lokasi yg dulu identik dgn lendir maksiat & premanisme, berubah wajah secara total. Tapi sekali lagi, mentalitas warga juga yg membuat wajah peradaban Jakarta baru seketika lenyap, kembali ke wajah kumuhnya yg dulu. Karena urusan politik, mayoritas warga DKI justru mengirim penggagas RPTRA ke balik jeruji besi, menggantinya dgn warna kebe-Rp-ihakan…

Dan mimpi mengamankan generasi penerus dari pengaruh negatif lingkungan pun perlahan sirna. RPTRA dibangun dengan alokasi APBD bersama Company Social Responsibility (CSR), sukses menyulap lokasi kumuh menjadi tempat kegiatan masyarakat yg representatif. Alokasi CSR untuk revitalisasi taman dilakukan langsung oleh perusahaan, tanpa kewajiban menyetorkan dana ke Pemda, memotong birokrasi yg biasanya jadi arena korupsi bersama. Kebijakan ini yg membuat pihak swasta berlomba menjadi mitra CSR DKI dalam mewujudkan mimpi masyarakat.

Kini atas nama kebe-Rp-ihakan, alokasi APBD utk pembangunan RPTRA dipangkas habis, menyisakan CSR sebagai ujung tombak dengan kewajiban pelaksanaan melalui Pemda. Dan ujung tombak itu ditumpulkan dengan kebijakan kontra-produktif yg jauh dari logika : pihak swasta diperbolehkan membangun RPTRA sebanyak-banyaknya, tapi dilarang mencantumkan iklan/nama perusahaan di lokasi (lihat logo Barito Pacific pada foto). Logika sederhana saja, perusahaan mana yg mau mengalokasikan CSR sampai Rp 600 juta per taman tanpa fasilitas ‘pengibaran bendera’…?! Ironisnya kebijakan ini diambil oleh pejabat yg berlatarbelakang ‘pengusaha swasta’…yang semestinya paham bagaimana konsep CSR dijalankan untuk mencapai legitimasi profit maupun kewajiban sosial perusahaan swasta. Sebuah kontradiksi – sebagaimana kebijakan lainnya – yg pada akhirnya membawa Jakarta kembali ke wajah peradaban lama…
Selamat tinggal Jakarta Baru…

Sumber : Status Facebook Sofyan Hadi

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed