Oleh: Pepih Nugraha
Usia “kardus durian” yang pernah melilit Muhaimin Iskandar ini sudah berbilang lebih dari satu dekade. Bahwa kasus ini kemudian dibuka kembali oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di saat Cak Imin -demikian Ketua Umum PKB ini biasa dipanggil- tentu menjadi pertanyaan publik; ada apakah gerangan?
Masalahnya, Cak Imin sedang gencar-gencarnya menaikkan posisi tawar selaku capres dengan menggertak Gerindra jika Prabowo Subianto berpasangan dengan Ganjar Pranowo, sebagaimana yang gencar diberitakan media massa.
Cak Imin sendiri belum bersedia menurunkan tawarannya sebagai cawapres. Ia masih “keukeuh” menyebut diri sebagai capres dengan alasan menjalankan amanat partai. Benar bahwa PKB mengamanatkan Cak Imin menjadi capres, bukan cawapres.
Akan tetapi menjadi sangat lucu, karena di dalam satu koalisi terdapat dua “matahari”, masing-masing mendaku sebagai capres, baik Prabowo maupun Cak Imin.
Masuk akal jika Prabowo tidak segera mungkin mendeklarasikan pasangan capres-cawapres, dalam hal ini dirinya dengan Cak Imin. Selain terlalu pagi dan terkesan “kesusu”, sebagai pemilik elektabilitas tiga tertinggi selain Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, Prabowo masih menakar bakal cawapres lainnya yang sekiranya bisa memberi nilai plus sekaligus menutupi kekurangan-kekurangannya.
Prabowo dengan Gerindra, misalnya, memerlukan dukungan dari kelompok Islam. Dua organisasi massa Islam terbesar adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Apakah dengan menggaet Cak Imin berarti menambah suara bagi Prabowo mengingat PKB sebagai kendaraan politik Cak Imin didirikan oleh tokoh dan ulama NU terkemuka seperti Abdurrahman “Gus Dur” Wahid? Belum tentu!
Ada persoalan internal yang sangat mendasar antara Cak Imin dengan keluarga besar Gus Dur, sampai-sampai mereka melarang Cak Imin menggunakan atribut Gus Dur dalam setiap kampanye politik. Ini berarti ada penolakan dari NU sendiri yang sangat menghormati sosok Gus Dur.
Dibanding Yenny Wahid, misalnya, jelas NU akan “nunut bin manut” kepada keluarga besar Gus Dur yang diwakili Yenny, tetapi bukan kepada Cak Imin. Kondisi inilah yang dipahami dengan baik sehingga mantan Danjen Kopassus ini tidak terburu-buru mengumumkan “perjodohan” dengan Cak Imin.
Ditambah lagi tidak ada hujan tidak angin, KPK menyatakan akan membuka kembali “kasus durian” yang melibatkan Muhaimin Iskandar saat yang bersangkutan menjabat sebagai menteri tenaga kerja dan transmigrasi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
KPK bahkan menyebut telah melakukan gelar perkara atau ekspose kasus proyek program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT) tersebut. Penanganan kasus itu sendiri masih dalam tahap penyelidikan.
Sekadar mengingatkan, kasus “kardus durian” terungkap dari kasus dugaan suap di kementerian yang kala itu dipimpin Muhaimin Iskandar.
Bermula dari tertangkap tangannya tiga orang, yakni Sesditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmingrasi (P2KT) I Nyoman Suisanaya, Kabag Perencanaan dan Evaluasi Kemenakertrans Dadong Irbarelawan, dan Dharnawati dari PT Alam Jaya Papua yang diduga melakukan penyuapan.
Penangkapan terjadi di tempat terpisah pada 25 Agustus 2011. Tim KPK juga sempat melakukan penggeledahan di kantor Kemenakertrans dan membawa serta barang bukti berupa uang tunai Rp1,5 miliar yang ditempatkan dalam “kardus durian”, sebagai uang suap yang diduga akan diberikan kepada Muhaimin Iskandar.
Penyuapan itu sendiri diduga dilatarbelakangi oleh upaya pencairan dana PPIDT di 19 kabupaten/kota di Papua yang rencananya dilaksanakan tahun itu dengan total nilai anggaran untuk proyek tersebut Rp500 miliar, berasal dari APBN-P tahun 2011.
Kantor Berita “Antara” menyebutkan, dari hasil penyidikan tiga tersangka oleh KPK, beberapa nama yang diduga terlibat “terdengar” satu per satu, dua diantaranya adalah staf Muhaimin Iskandar, yakni Fauzi selaku staf ahli dan Ali Mudhori selaku staf khusus.
Nama keduanya disebut bersama dengan dua nama lainnya, yakni Iskandar Prasojo alias Acos dan Sindu Malik yang disebutkan mantan PNS di Kementerian Keuangan menjadi penghubung antara Kemenakertrans dengan Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran DPR.
Namun seiring berjalannya waktu, kendati dugaan siap mengarah kepada Cak Imin, toh belum cukup bukti untuk menjadikan Cak Imin sebagai saksi, misalnya, apalagi sebagai tersangka.
Namun demikian saat Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan bahwa kasus “kardus durian” akan dibuka kembali, Cak Imin bungkam seribu bahasa saat sejumlah awak media mengkonfirmasinya.
Jelas kasus “kardus durian” ini akan semakin memperberat langkah Cak Imin menuju Istana. Pasalnya, siapapun capres yang maju akan mempertimbangkan masak-masak untuk menjadikan Cak Imin sebagai cawapresnya, termasuk Prabowo tentu saja.
Sesungguhnya Cak Imin tidak ngotot-ngotot amat sebagai capres. Baginya, menjadi cawapres pun siap asalkan Prabowo segera mendeklarasikannya. Tetapi itu tidak terjadi. Di sisi lain, Prabowo bukan “yesterday afternoon politician”. Sebagai pemilik elektabilitas tinggi, ia juga merasa berhak menentukan pilihan yang tepat pendampingnya.
Cak Imin sendiri sejak lama punya ambisi besar untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres. Masih ingat jelang Pemilu 2019 lalu, misalnya, Cak Imin percaya diri bakal dipilih Joko Widodo sebagai cawapres hanya karena pernah diajak “jalan bareng” Jokowi. Akhirnya Cak Imin hanya bisa gigit jari karena Jokowi lebih memilih Ma’ruf Amin, sebuah pilihan yang sangat tepat.
Prilaku yang sama terlihat sejak PKB berkoalisi dengan Gerindra di mana pada awalnya ia ngotot ingin jadi cawapres sebagai syarat berkoalisi dengan Gerindra. Ndilalah tersiar kabar bahwa Prabowo melirik Ganjar Pranowo sebagai pendamping alih-alih memilih dirinya, padahal isu ini belum tentu benar adanya.
Cak Imin tentu kesal, maka keluarlah ancaman kalau dirinya akan membentuk komposisi baru jika wacana Prabowo-Ganjar menjadi kenyataan. Namanya juga ancaman bernada gertakan, apa yang disebutnya sebagai “komposisi” baru pun sekadar “bluffing” belaka di saat partai-partai lain sudah membentuk koalisinya masing-masing.
Mengapa Cak Imin sejak awal ngotot agar minimal dirinya menjadi cawapres, tidak lain agar PKB mendapat limpahan elektoral alias “coat-tail effect” dari pencawapresannya itu.
Gerindra sendiri sebagaimana disampaikan Wakil Ketua Umum Gerindra Budisatrio Djiwandono menyatakan menghargai pernyataan Cak Imin soal kemungkinan pembentukan komposisi baru tersebut seraya menambahkan, Gerindra tetap berkomitmen berkoalisi dengan PKB hingga Pilpres 2024.
Juru bicara Badan Pemenangan Pemilu Gerindra ini mengungkapkan, penentuan capres-cawapres koalisi Gerindra-PKB akan dibahas pada Desember 2022 atau awal Januari 2023. Sebuah basa-basi politik yang belum tentu terjadi.
Bisa dimaklumi, Budisatrio perlu mendinginkan suasana politik yang mulai memanas ini mengingat ancaman Cak Imin bisa berbahaya bagi Gerindra yang dipastikan bakal mengusung Prabowo sebagai capres ini. Jika Cak Imin benar-benar hengkang, salah-salah Prabowo gagal maju ke Pilpres 2024 nanti.
Boleh juga gertakan Cak Imin ini.
(Sumber: Facebook Pepih Nugraha)
Comment