Oleh: Pepih Nugraha
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin mengaku dirinya baru tahu berdirinya Koalisi Indonesia Maju (KIM) di dalam tubuh Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). “Itu berarti KKIR bubar,” katanya. Ia juga mengaku baru tahu perubahan nama dari KKIR ke KIM, yang berarti soal pergantian nama koalisi itu Cak Imin tidak diajak berembug.
“Saya baru dikasih tahu sama Pak Prabowo bahwa koalisinya tadi Koalisi Indonesia Maju. Tentu saya akan lapor ke partai bahwa perkembangannya sudah berubah. Berarti KKIR dibubarkan dong. Nah, saya nggak tahu, saya akan melapor ke partai dulu,” kata Cak Imin usai menghadiri acara HUT PAN di Hotel Sultan, Jakarta, Senin 28 Agustus 2023.
Habis manis sepah dibuang? Itu mungkin peribahasa yang pas untuk menggambarkan betapa selama ini Cak Imin hanya dianggap Prabowo Subianto sebagai “pelengkap-penderita”, sekadar memenuhi persyaratan Presidential Threshold yang mana kalau Gerindra berjalan sendirian tidak akan bisa. Partai politik yang dipimpin Prabowo itu harus menggandeng teman untuk berkoalisi. Kebetulan PKB yang masuk menggenapi lebih awal.
Pada mulanya, karena Cak Imin sering menggertak Prabowo akibat terlalu lama di-PHP (pemberi harapan palsu) di mana dirinya tak kunjung didapuk sebagai cawapres, Prabowo pernah melemah dan menyerahkan penentuan cawapres bagi dirinya diserahkan sepenuhnya kepada Cak Imin.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, elite PKB langsung mengajukan nama Cak Imin sebagai bakal cawapres Prabowo. Untuk sementara Prabowo diam dan mengalah, tetapi tidak memutuskan apa-apa. Penentuan cawapres tak kunjung tiba, sampai kemudian datanglah Golkar dan PAN merapat ke Prabowo.
Dari foto-foto jepretan media saat kwartet parpol ini mengumumkan penambahan dua anggota barunya, hanya Cak Imin yang terlihat tidak hepi. Di mata Cak Imin, benar bahwa kehadiran dua partai itu akan memperkuat barisan koalisi, tetapi mengancam potensi kedudukannya sebagai cawapres. Tentu Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan mau juga kalau didapuk (setelah disepakati) sebagai cawapres bagi Prabowo.
Sesungguhnya tidak harus dipertanyakan mengapa Prabowo tak kunjung mendapuk Cak Imin sebagai cawapresnya. Padahal kalau merasa “safe” (aman), seharusnya sudah dilakukan dari dulu-dulu. Ada banyak jawaban, salah satunya elektabilitas Cak Imin sebagai orang yang pernah mendeklarasikan diri sebagai capres, tidak kunjung merayap naik. Bahkan sebelumnya sempat masuk jajaran “baskom” alias barisan satu koma sekian.
Ini bukan persoalan fisik, bagi Prabowo atau barangkali publik pada umumnya menilai, Cak Imin “tidak punya potongan” baik untuk wapres apalagi presiden. Itu sebabnya publik tidak yakin dan berimbas kepada elektabilitasnya yang rendah, kendati pernah memasang baliho besar-besaran. Bahwa ia pernah menjadi menteri di zaman Presiden SBY, ya itu sejarah yang tidak bisa dihapuskan.
Hal lain, di mata Prabowo, Cak Imin bukan representasi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi besar kemasyarakatan. Terbukti pernyataan ketua PBNU Yahya C. Staquf yang berkali-kali mengatakan bahwa NU tidak berafiliasi ke salah satu parpol. Keluarga besar Abdurrahman Wahid yang diwakili Yenny Wahid tegas mengatakan, Cak Imin dilarang membawa-bawa nama Gus Dur dalam setiap kampanye politiknya, termasuk memasang gambar atau foto Gus Dur.
Tentu ini ganjalan yang merugikan Cak Imin. Adanya ganjalan Cak Imin dengan keluarga Gus Dur terjadi karena persoalan lama di mana Cak Imin disebut-sebut merebut PKB yang didirikan Gus Dur. Konflik bersejarah ini tidak akan mudah terhapus begitu saja tatkala Cak Imin ingin tampil dalam kontestasi pemilu di situ keluarga besar Gus Dur dan NU bereaksi menjadi penentang potensialnya.
Dan, Prabowo tahu persoalan itu. Maka untuk itulah ia “mengayun-ambing” Cak Imin dalam buaian seperti bayi agar bisa tertidur lelap daripada bangun tapi menangis terus.
Kini dengan merapatnya Golkar dan PAN, Prabowo lebih leluasa lagi mendikte Cak Imin, bahkan mungkin mandat yang pernah diberikannya kepada Cak Imin untuk memilih cawapres bakal dicabut. Kini keleluasaan memilih cawapres kembali berad di tangan Prabowo.
Tentang perubahan nama yang bagi Cak Imin bisa bermakna banyak, ia mengaku tidak dalam posisi setuju atau tidak setuju dengan nama koalisi baru tersebut. Wakil ketua DPR ini juga tak mempersoalkan soal nama koalisi, pun mengatakan tak terlalu penting dirinya tak dilibatkan dalam penamaan baru koalisi itu. Baginya, mempertanggungjawabkan dinamika koalisi kepada partainya (PKB) jauh lebih penting. Ini sekadar basa-basi politik saja.
Nama baru koalisi itu awalnya memang diumumkan Prabowo setelah Golkar dan PAN merapat. Namanya menjadi Koalisi Indonesia Maju, mengingatkan nama Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin Presiden Joko Widodo. Pengumuman perubahan nama itu disampaikan Prabowo saat berpidato di HUT ke-25 PAN itu. Saat itu hadir Airlangga Hartarto,Cak Imin, Ketua umum PBB Yusril Ihza Mahendra, dan tentu saja sahibul hajat Zulkifli.
“Tadi kita berembuk para ketua umum, tadi berembuk walaupun sebentar, ya Pak Zul, Pak Airlangga, Gus, sama Profesor. Kita sepakat, koalisi kita, kita beri nama Koalisi Indonesia Maju,” kata Prabowo disambut tepuk tangan hadirin.
“Gus” yang dimaksud Prabowo tidak lain Muhaimin Iskandar, sedang “Profesor” merujuk ke Yusril Ihza Mahendra.
Airlangga Hartarto sempat mengungkap alasan mengapa koalisinya kini bernama Koalisi Indonesia Maju seperti nama kabinet Presiden Joko Widodo. Alasannya, poros koalisinya diisi oleh partai-partai pro-koalisi pemerintahan Jokowi.
“Jadi kita berembuk mencari nama apa yang paling mencerminkan keberlanjutan program Pak Presiden, akhirnya kita ketemu pada kata-kata Koalisi Indonesia Maju, karena memang visi Indonesia ke depan 2045 maju, sejahtera, adil,” kata Airlangga.
Tidak lupa Airlangga memastikan nantinya jika koalisi ini memenangi Pilpres 2024, dijamin akan melanjutkan program-program Jokowi usai pemerintahan berganti. “Ini meneruskan program Pak Jokowi dan dulu Pak Presiden koalisinya juga Indonesia Maju. Jadi melanjutkan saja,” katanya seraya menambahkan, nama itu dihasilkan karena spontanitas belaka.
Di luar alasan bahwa anggota koalisi ini semuanya merupakan anggota Kabinet Indonesia Maju, tetap saja ada unsur politik “selalu menyebut nama Jokowi” untuk kepentingan elektabilitas, seolah-olah sudah ada jaminan bahwa KIM akan meneruskan program-program Jokowi jika menang Pilpres 2024.
Dengan tingkat kepuasan publik yang di atas 80 persen (Survey LSI), sangat mungkin Prabowo dan koalisinya mengambil ceruk pemilih dan pendukung Jokowi demi menambah elektabilitas. Ini terbukti ampuh. Kenyataan tak terbantahkan, elektabilitas Anies Baswedan di Koalisi Perubahan dan Perbaikan (KPP) yang menegaskan sikap politiknya sebagai “antitesis” Jokowi, selalu langganan juru kunci, sementara elektabilitas Prabowo dan Ganjar saling berkejaran.
Satu hal, jangan remehkan Muhaimin Iskandar. Meski sekarang posisi tawarnya sudah jauh melemah dengan kehadiran dua kamerad baru di tubuh KIM, ia bisa serta merta mencabut dukungan untuk kemudian berlabuh ke PDIP yang sebelumnya sudah melakukan PDKT lewat Puan Maharani. Memang tidak akan menggoyahkan KIM, tetapi sedikitnya akan mengurangi kekuatan.
Benar bahwa peluang Cak Imin menjadi cawapres bagi siapapun capresnya akan melayang, tetapi bermain di ranah partai dengan menjadi “Penguasa PKB” baginya sudah lebih dari cukup, apalagi jika nanti dengan mendapatkan kompensasi sekian kursi kabinet beserta turunannya.
Meski “dilepeh” dan tersakiti, Cak Imin tetap sakti.
(Sumber: Facebook Pepih Nugraha)
Comment