by

Membongkar Keliru Pikir Dr Zubair yang Fitnah NU dan Muhammadiyah

Oleh : Alim

-kasus video dosen yang embuh- Barusan nonton video seorang dosen, tampaknya UIN Jakarta, yang mendiskreditkan NU (karena asy’ariyah) sambil memuji Muhammadiyah (karena bukan asy’ariyah) dengan narasi dan cara yang jelas² salah. Beberapa kesalahan yang bisa saya candra :

Pertama, ia mengatakan asy’ariyah itu banyak masalah: tidak maju, tidak progresif, tidak inovatif, tidak kreatif, bikin bodoh, bikin terbelakang. Tinggalkan paham itu, katanya. Sebagai dosen, narasi ideologis macam ini jelas keliru ketika berbicara dalam forum kuliah yang ilmiyah. Bukan menjelaskan dengan baik perbandingan antar kalam, narasinya justru menyudutkan. Forum kuliah apa debat medsos? Setiap faham kalam tentu bisa dianggap bermasalah oleh faham kalam yang lain. (Tampaknya pak dosen ini sedang membandingan asy’ariyah dan mu’tazilah).

Sepanjang sejarah diskursus kalam ya begitu itu. Maka harusnya seorang dosen menggelar wacana itu apa adanya secara ilmiyah, bukan seperti pidatonya ormas yang gemar kepruk-keprukan.

Kedua, berlandaskan pada pendapat di atas (asy’ariy bermasalah) ia bilang bahwa NU nggak maju² karena terlalu asy’ariy.. berbeda dengan Muhammadiyah yang berkemajuan (setelah saya lihat ulang videonya, saya lihay dia bilang soal Muhammadiyah, “agak Mu’tazilah dia..”). Lalu mengkampanyekan para mahasiswa yang berlatar belakang NU untuk pindah ke Muhammadiyah, dengan beberapa argumen yang dibangun seperti soal rumah sakit lah, kampus di tengah daerah kristen lah, soal kiprah di NKRI lah. Menurut saya ini fatal sekali. Baik fatal secara nalar keilmuan, juga fatal soal efek pembelahan bangsa.

Soal kalam, dalam kajian ust. Wahyudi Abdurrahim, kalam Muhammadiyah yang ada dalam putusan² resmi peryarikatan justru bercorak asy’ariyah meskipun dalam dokumen² resminya tidak menyebutnya secara letterlijk. Penjelasan panjang lebar ada di buku dan di yutub beliau. Dengan demikian membedakan NU dengan Muhammadiyah karena NU Asy’ariyah dan Muhammadiyah mu’tazilah itu terlalu jauh muternya. Apalagi, menggunakan Muhammadiyah sebagai contoh bukan asy’ariyah sehingga maju… melesetnya jauh. Premis²nya aja keliru, apalagi kesimpulannya.

Kalau cara mikirnya gitu, kenapa nggak nyuruh mahasiswa jadi syiah aja biar bisa maju seperti Iran yang punya nuklir, atau jadi wahabi aja biar kaya raya seperti Saudi. Seharusnya, kalau mau diskusi pengaruh cara pandang kalam terhadap kemajuan/kesejahteraan/keberhasilan hidup,… ya penjabarannya yang ilmiyah, hasil studi kek, penelitian kek, jangan tiba² nyuruh mahasiswa meninggalkan pemahamannya yang asy’ariyah.

***Saya akan membawa ini kepada masalah cara berpikir yang lebih besar, yaitu soal kotak-mengkotakkan dan milik-milikan. Saya melihat ada bau-bau common sense dalam cara berpikir pak dosen itu. Common sense ini agak wagu, di antaranya : Tradisi milik NU, modernitas milik Muhammadiyah. Pesantren milik NU, sekolah milik Muhammadiyah.Kyai milik NU, profesor milik Muhammadiyah. Kitab kuning milik NU, buku putih milik Muhammadiyah. Menag milik NU, mendikbud milik Muhammadiyah, Warisan sejarah milik NU, masa depan milik Muhammadiyah .Akhirnya semua kalah sama salafi: bid’ah milik kalian, sunnah milik kami.. 😄

Cara berpikir begitu adalah cara berpikir -meminjam istilah Kuntowijoyo- mitos! Jelas bukan realitas, yang sayangnya banyak orang berpikir seperti itu. Saya menduga, pak dosen itu dilatarbelakangi oleh cara berpikir semacam itu, lalu dikaitkan dengan kajian kalam.. maka lahirlah kesimpulan yang keliru seperti tergambar di atas. Eh, jangan² kita² ini sebenarnya seperti pak dosen itu hanya kemasannya yang beda? Hmmmm….

Sumber : Status Facebook Alim

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed