by

Iman dan Akal

Oleh : Munawar Khalil

Salah satu kesulitan utama yang menghadang proses kemajuan Islam di banyak negara muslim yang mengalami ketertinggalan adalah perbincangan tentang batasan penggunaan akal. Mungkin kebetulan, di dalam bahasa Arab, kata ”batas” (al-hadd) itu sama dengan kata ”pidana” (al-hadd atau al-hudud).

Kesamaan kata tersebut bisa saja (andai mau googling) berimbas secara psikologis, sehingga membuat melemahnya upaya-upaya pembaharuan yang basisnya dominan menggunakan akal (pengetahuan). Berbagai percobaan untuk menerabas, melintasi, bahkan melampaui batas-batas pemikiran, tak jarang dianggap sebagai sesuatu yang tabu karena dikhawatirkan melemahkan atau merusak iman.

Mereka yang memberanikan diri untuk melintasi batasan-batasan pembaharuan seringkali mendapatkan perlawanan dari mereka yang “merasa beriman”. Dalam sejarah intelektual Islam banyak sekali tokoh-tokoh yang diberi stempel liberal, kafir, bahkan murtad, tidak hanya oleh awam tapi juga oleh sesama intelektual konservatif karena mengusung cara berpikir model mu’tazilah dan asy’ariyah yang konsep dasarnya mengedepankan akal dibanding tekstual.

Namun yang terlupakan dari wacana tentang batasan penggunaan akal ini adalah bagaimana cara mengetahuinya. Siapa yang menetapkan dan mungkinkah batasan-batasan itu diterabas, dilintasi, bahkan dilampaui? Mohammed Arkoun, seorang ahli tafsir neo-modernis punya tiga istilah yang menggambarkan persoalan batasan ini. Menurutnya, dalam wacana pemikiran Islam kita menghadapi tiga persoalan.

Yang pertama, menyangkut apa ”yang terpikirkan” (al-mufakkar fih). Kedua, ”yang tidak terpikirkan” (al-ghair al-mufakkar fih). Kategori ketiga, yaitu al-mustahil atau al-mamnu at-tafkir fih (yang mustahil atau yang terlarang untuk dipikirkan). Karena ini terkait dengan batasan-batasan, maka kita perlu memikirkan ulang atau memperbarui paradigma kita sendiri di mana batasan itu.

Nah, persoalan penting dari diskursus bagaimana akal dalam pikiran muslim beriman bisa mustahil dan terlarang digunakan, adalah keterbatasan penggunaan akal itu sendiri. Artinya mereka yang berkeras menentang penggunaan akal, sepertinya adalah mayoritas mereka yang tak mampu meng-crawling akal (pengetahuannya) sendiri secara maksimal. Dan keterbatasan itu, mengakibatkan jalan pintas diambil dengan menyederhanakan upaya bahwa; penggunaan akal akan melampaui eksistensi Tuhan.

Ketidakpahaman menggali sumber-sumber literatur bahwa akal menempati peranan penting dalam kemajuan Islam (kata akal disebutkan 46 kali dalam Al Qur’an sebagai sumber primer) justru di lawankan dengan pembatasan penggunaannya yang bersumber dari interpretasi para mufassir dalam sumber-sumber sekunder. Padahal, masa-masa kemajuan peradaban Islam, justru di gagas oleh beberapa pemikir-pemikir muslim yang dominan menggunakan akal pada abad ke-8, yang akhirnya kemudian menurun drastis ketika Islam dibawa dalam kerangka ortodoksi dan tekstual mulai abad ke-11 sampai saat ini.

Lalu, jika batasan penggunaan akal (pengetahuan) itu sendiri tidak kita ketahui, bukankah harusnya ia tak perlu dibatasi? Bagaimana mungkin kita membatasi penggunaan akal untuk memahami hakikat atau eksistensi teologis jika batasannya saja tidak ada? Dan dari mana kita tahu ia telah melewati batas?

Sumber : Status Facebook Munawar Khalil

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed