by

ChatGPT dan Dunia Pendidikan

Oleh : Pitoyo Hartono

ChatGPT dan pendidikan: Saya membolehkan mahasiswa/i utk menggunakan ChatGPT.

Beberapa bulan ini dunia heboh dengan munculnya ChatGPT, sebuah Chat system yg digawangi oleh AI. Teknologi ini muncul dari neural network (tepatnya sepasang neural network) yg disebut Transformer (GPT: Generative Pre-trained Transformer) yg pada mulanya digunakan utk menterjemahkan kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain.

Pada perkembangannya ChatGPT dapat digunakan utk “curhat” dalam segala macam hal. Banyak yg merasa terancam dengan munculnya ChatGPT ini termasuk Google.

Yang paling merasa terancam adalah dunia pendidikan. Banyak mahasiswa/i yg mulai menggunakan chatGPT utk menuliskan tugas report ataupun thesisnya.

Teknologi seperti ini, sekali keluar akan bermomentum sangat besar sehingga tidak akan bisa dihentikan. Semua teknologi adalah pedang bermata dua. Dengan munculnya teknologi AI seperti ini akan banyak pekerjaan yg hilang, tapi akan muncul juga pekerjaan baru. Waktu pertama kali kamera muncul, banyak pelukis kehilangan pekerjaan, tp dalam perkembangannya muncul pekerjaan baru, photographer. Teknologi kamera tidak hanya digunakan utk mengabadikan peristiwa, tapi juga membantu teknologi kedokteran. Dari kamera muncul video kamera, industri TV dsb dsb.

Waktu mobil muncul banyak kusir kehilangan pekerjaan, tapi lalu muncul industri mobil yg memberi pekerjaan pada jutaan orang.

Kembali pada dunia pendidikan. Dosen yg melarang mahasiswa/i utk menggunakan alat bantu AI seperti ini adalah dosen yg merasa terancam eksistensinya. Mereka merasa tersaingi, sehingga cara paling gampang utk menjaga dirinya adalah menghilangkan “saingannya”. Artinya mereka ini orang2 yg tergantikan oleh AI.

Kenapa tidak menggunakan AI itu utk membantu meningkatkan kreatifitas anak2 didiknya ? Bukankah ini kesempatan utk memperkenalkan alat baru seperti komputer pada beberapa dekade yg lalu. Bukankan salah satu tujuan pendidikan adalah utk memajukan peradaban dan bukan menghalanginya ?

Akan banyak pekerjaan baru yg membutuhkan skill utk berkolaborasi dng AI secara etis. Kalau tidak dilatih di universitas lalu di mana ?

Saya mengatakan pada mahasiswa/i saya bahwa mereka sangat boleh menggunakan ChatGPT asal mereka jujur dan tidak melanggar etika akademia. Kalau mereka menulis report dng ChatGPT, tuliskanlah demikian. Ini kesempatan utk mengajarkan etika.

Hanya saya katakan apa yg mereka tulis sepenuhnya adalah tanggung jawab mereka. Kalau mereka menuliskan sesuatu yg muncul dari ChatGPT dan itu tidak sesuai dng fakta, itu tanggung jawab mereka. Kalau ada keanehan logika, struktur tulisan, kesalahan tatabahasa itu adalah tanggung jawab mereka. Pendeknya mahasiswa/i harus bertanggung jawab pada setiap titik koma yg dituliskannya. Saya tidak akan mentolerir jawaban: “ChatGPT menulis seperti itu” atau “Itu ada di internet”. Karena sesuatu dikatakan oleh ChatGPT tidak berarti bahwa mahasiswa/i yg menyalin itu mengerti.

Ini satu contohnya. Saya menginput “Prove Stirling’s Formula” pada ChatGPT. Dan jawabannya saya sertakan di foto ini.

Kalau ada mahasiswa/i yg menyerahkan jawaban seperti ini dia akan saya panggil dan akan saya tanya:

1. Terangkan pada saya ttg prosedur kedua. Kenapa ln(n!) = 0(n ln(n)).

2. Apa arti O (baca big O) dan apa bedanya dng o (baca little o) dalam approximasi matematika.

3. Mengapa prosedur ke 3 berlaku. Mengapa ln(x) bisa diapproximasi menjadi x-1 dan apa syarat agar approximasi ini terpenuhi (approximasi ini jelas tidak terpenuhi utk x->0 ). Kalau dia mengerti akan makna dr Taylor Expansion, (bukan menghapal seperti orang tolol) dia nggak akan kesulitan menjawab.

4. Mengapa kita butuh Stirling Formula utk mengaproximasi hitung faktorial. Pada situasi seperti apa ini efisien ?

Kalau dia bisa menjawab, ya artinya dia menggunakan ChatGPT utk membantu dia belajar utk mengerti. ChatGPT meningkatkan kemampuan bermatematisnya. Jadi kenapa tidak ?

Utk orang yg bener2 mengerti dan bertanggung jawab akan tulisannya, dialog ini nggak akan lebih dari 5 menit.

Kalau dia tidak bisa menjawab, kertasnya akan saya masukkan tong sampah di depan mukanya (ini tidak jarang saya lakukan sekarang), karena nggak ada nilainya. Semua orang goblog bisa menyalin. Dan saya tidak memberi kredit utk kemampuan menyalin. Habis perkara !

Lagipula, bukankah dosen memberi tugas utk menulis ataupun mengadakan test pada mahasiswa/i nya utk menilai pengertian mereka dan bukan banyaknya huruf yg mereka tuliskan ?

Ketidakmampuan dosen utk menilai kemampuan mahasiswa/i bukan tanggung jawab ChatGPT atau teknologi2 lainnya. Itu tanggungjawabnya sebagai pengajar.

Jadi apa yg ditakukan dengan munculnya ChatGPT ?

Seorang dosen di bidang AI juga bisa menerangkan dan mempelajari bersama mahasiswa/i ttg komponen2 kunci yg memungkinkan munculnya ChatGPT ini. Dan tentunya apa yg bisa dilakukan utk mengembangkan teknologi yg sudah ada ini.

Di Indonesia, sebelum ribut dng ChatGPT, yg lebih mendesak adalah joki2an yg dilakukan dosen. Atau banyak dosen joki yg merasa cuannya terancam dng ChatGPT yg gratis ini ?

Sumber : Status Facebook Pitoyo Hartono

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed