by

Vonis

Oleh : Ramadhan Syukur

DUA minggu lalu adik gue mengabarkan pagar rumahnya dibongkar maling dan sepeda motornya raib.

Gue yang mendengar kabar itu ikut emosi. Tapi ya gak bisa berbuat apa-apa, kecuali berdoa dengan penuh amarah dan dendam. Semoga kalau ada lagi maling motor tertangkap, gak usah dikirim ke kantor polisi. Langsung aja dieksekusi di tempat. Kalau perlu mati.

Seminggu kemudian ada berita di televisi, seorang pencuri motor tertangkap basah oleh warga. Tanpa ampun, tanpa rasa belas kasihan, maling itu ditelanjangi, digebuki, disiram bensin, disulut api, dan mati.

Apa gue bahagia? Ternyata enggak. Sekejap itu juga hati gue mendadak iba bagaimana pencuri motor itu dihakimi sendiri dan dieksekusi mati.

Kira-kira begitulah sejumlah status yang berseliweran setelah Sambo divonis hukuman mati. Ada yang bersorak senang. Ada yang mendadak kasihan. Kedua-duanya sama-sama menggunakan hati.

Tapi harus diingat, kata seorang teman, KEADILAN TIDAK MEMILIKI HATI.

Coba, apa jadinya kalau setiap hakim mendahulukan perasaannya dalam memutuskan sebuah perkara persidangan? Tentu keadilan cuma jadi pemanis bibir belaka. Kalau selalu mengikuti perasaan ada kecenderungan untuk memihak ‘yang tampak teraniaya’ meskipun secara fakta ia terbukti bersalah.

Perasaan dalam sebuah proses persidangan memang sangat berbahaya. Demikian kata yang paham hukum dan gak mau mempermainkan hukum.

Biar gak jadi penyesalan berlarut-larut, adik gue sudah mengiklaskan motornya yang raib diembat maling.

Sumber : Status Facebook Ramadhan Syukur

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed