Oleh : Muhammad Ilham Fadli
Hari ini. Selepas ngajar, saya ditelepon seorang kawan. “Saya ingin jumpa kamu, sudah lama kita tak bersua bertatap muka. Hari ini saya ada di kotamu, bisakah agak satu jam menjelang Jumatan, kita ngeteh dan ngopi ?”. Riang hati saya. Gembira luar biasa. Salah seorang kawan akrab ketika masa-masa kuliah dulu. Berbeda Fakultas. Langsung saya jawab, “siap. Dimana ?”.Akhirnya, di sebuah kedai kecil dekat kampus Lubuk Lintah UIN Padang, kita berjumpa. Mukanya sumringah melihat saya. Saya terharu, melihatnya begitu bahagia menyambut kedatangan saya. Sejak pertengahan tahun 2019 yang lalu, ia tak lagi menjadi “sahabat” saya di Facebook. Ia memblokir saya.
Saya berusaha untuk.meneleponnya, ia juga memblokir nomor saya. Padahal sejak kuliah, kami tak pernah blokir memblokir. Semuanya, tersebabkan Pilpres 2019 yang lalu. Ia pendukung garis keras Prabowo Sandi. Kepedulian terhadap masa depan ummat Islam Indonesia, adalah pertimbangan utamanya. Tidak ada toleransi-toleransian. Lalu, masa itu, ia juga pengagum berat Rocky Gerung. Bahkan, untuk Rocky Gerung, sahabat saya ini selalu mengatakan, “Rocky Gerung sebenarnya cinta Islam walau non Islam”. Kadang, disitu saya merasa bingung. Di messenger ia sering menyatakan keberatannya terhadap tulisan-tulisan saya sebelum Pilpres 2019.
Saya tak pernah menanggapi serius. Paling, saya alihkan ke pembahasan tentang kisah waktu saya jadi gharim dan ketika ia ngekost. Tentang mahasiswi kedokteran cantik yang ngekos dekat masjid tempat saya tinggal dulu yang selalu diidam-idamkannya. Namun semua itu tak ditanggapinya. Selalu kembali ke calon Presiden dan Wakil Presiden. Selalu dihubungkannya dengan kualitas keimanan saya. Puncaknya, ketika Tagar INAElectionSos bla bla (entah apa ) menyeruak di media sosial pasca kekalahan Prabowo Sandi, sahabat saya ini, termasuk yang paling getol men-share dan membagi ke berbagai “tempat”.
Termasuk pada saya. Tapi, tak saya tanggapi. Terakhir, saya memberinya sebuah pesan, “janganlah berkelampauan, nanti yang saya khawatirkan, justru PDIP berpelukan mesra lagi intim dengan Gerindra, kamu menangis Bombay memeluk bantal guling sambil menyumpahi Prabowo Sandi !”. Ia marah, sambil membalas, “tak berbau telunjuk saya”. Lalu, saya pun diblokir. Ya sudah ….. !Persahabatan akhirnya pudur mendingin gara-gara pilihan politik. Ia yang mengakhiri. Bukan saya. Lalu, siang jelang Jumatan tadi : “Benar katamu. Hingga kini, saya tak bisa memaafkan Prabowo dan Sandiaga Uno. Tak akan pernah. Kita mengharu biru di bawah, ujungnya dia berdayung mesra dengan lawannya. Benar katamu dulu. Jangan menganggap Prabowo dan Sandiaga Uno berkontribusi membuat kita masuk sorga. Menjadi ukuran keimanan. Kita ini kadang-kadang lebih bodoh dari anak-anak. Tak menyadari mereka itu politisi. Maafkan … saya !”, katanya sambil meninju lembut perut saya.
Setelah itu, kami tak mau bicara tentang politik. Kami ingin menjemput keakraban tempo doeloe. “Sekarang, saya add FB kamu ya ?”, kata saya padanya. “Saya sudah tak punya akun Facebook !”, jawabnya sambil tersenyum. Entah mengapa, saya genit bertanya, “calon 2024 yang akan datang, bagaimana ?”. Ia terkejut mendengar pertanyaan saya tersebut.”Ganjar-Anies atau Anies – Ahok, bisa juga Ganjar-Anies …. tak tertutup kemungkinan, Ahok – Riziek Shihab, atau Rocky Gerung – Puan Maharani ….. kalau boleh, SBY – Megawati !”, jawabnya dengan mimik muka datar. Sungguh, ia mulai tahu dan menyadari, politik praktis itu tak boleh dibawa serius betul, karena dalam politik praktis itu, segala sesuatu yang dianggap tak mungkin, bisa jadi memungkinkan untuk terjadi
Sumber : Status Facebook Muhammad Ilham Fadli
Comment