by

Sri Asih

Oleh : Kardono Ano Setyorakhmadi

BANYAK akun-akun film memuji-muji Sri Asih. Termasuk bahkan Najwa Shihab. Namun, ada pula akun yang mengomel merasa film ini jelek sekali. Bahkan memberi rating 1/10. Mana yang benar?

Bagi saya yang terpengaruh dan kemudian memutuskan melihat Sri Asih, maka saya merasa tergocek akun-akun film tersebut.

Bertaburan nama-nama besar, Pevita Pearce, Jefri Nichol, Surya Saputra, Reza Rahardian, Christine Hakim. Juga dengan cameo yang tak kalah ciamik seperti Dian Sastro dan Najwa Shihab, namun film ini gagal dengan tujuan utama dari pembuatannya: menjadi epik.

Maka kalimat di akun-akun film yg bagi saya terasa jadi buzzer itu: “Jika Gundala adalah batu pertama, maka Sri Asih adalah pondasi kokohnya. Gak cuma buat BCU, tapi juga buat genre superhero Indonesia. Luar biasa bahagia sekaligus terharu.” “Overall Sri Asih adalah sejarah positif perfilman Indonesia.” Menjadi terasa seperti olok-olok. Serius. Sehabis melihat filmnya dan kemudian membaca review itu, beneran, terasa seperti olok-olok.

Kita mulai satu-satu. Yang pertama soal CGI. Saya tahu bahwa industri film Indonesia belum bisa membuat seperti MCU atau sekelas Black Adam, jadi ya saya maklum dan tak berekspektasi tinggi.

Namun, ya perlakuannya jangan seperti ini. Paling banter hanya dua tingkat dari sinetron aksi di televisi. Selain itu, ada hal yang salah kaprah. Koreografi pertarungannya memang sudah oke, apalagi ditangani oleh Uwais Team, koreo pertarungan yg bosnya adalah aktor laga keren Indonesia: Iko Uwais.

Namun, tidak cocok untuk film ini. Sri Asih adalah superhero sekelas Wonder Woman, yang mestinya ketika bertarung dengan preman kroco baris pertama penjaga villain seperti terlalu banyak effort. Harusnya kelas superhero ini cukup dengan satu-dua sentuhan saja sudah tumbang. Lalu, ketika Alana aka Sri Asih yang digambarkan kesulitan mengontrol kekuatan dalam dirinya, yang berakibat ketika tak bisa menguasai emosinya akan berubah menjadi ledakan kekuatan, ehh ternyata kekuatan ledakan kekuatan emosinya nyaris tidak terlihat beda. Alias podo wae.

Oke, setelah CGI, kita akan masuk yang menjadi kelemahan utama film Indonesia sampai saat ini: story telling dan bad writing. Entah kenapa, plot hole bertebaran di mana-mana. Ada banyak scene yang akan membuat anda berkata: “ini apaan sih, njing.”

Selain itu, dialog yang ada terasa sangat kaku seperti kanebo kering. Juga tak masuk akal. Bayangkan, anda disuguhi tontonan dua anak kecil yang ketika akan berpisah, berangkulan dan berkata: “ingat, ketika ada kezhaliman datang, maka kita harus melawan.” Bagi penonton seperti saya, hal-hal kecil ini sangat mengganggu. Dialog dan tingkat berpikir tak wajar anak kecil ini sama seperti yang ada dalam novel dan film Laskar Pelangi. Itulah kenapa saya tak pernah bisa menuntaskan membaca novel Laskar Pelangi dan berhenti di beberapa halaman pertama. Karena ya itu, kedewasaan dan dialognya terasa tak wajar bagi saya.

Saya rasa, film yang tak banyak plot hole dan bertuturnya enak itu tak banyak. Ada Apa dengan Cinta (bukan yang kedua ya, yg kedua sudah drama geje), dan film-film Bayu Skak seperti Yo Wis Ben. Segi cerita sederhana, tapi kesederhanaannya begitu kuat dan logis.

Lalu, bad writing ini muncul terlihat pada plot twist. Kejutan yang disiapkan sudah bisa terbaca di separuh cerita, jika mau sedikit kritis menontonnya. Dan ketika tertebak, itu pun tertebak dengan cara yang menyebalkan, dan bertanya-tanya: ini orang tadinya berbuat gini ngapain sih?

Kemudian, bad editing. Entah kenapa ada banyak potongan adegan yang terasa sia-sia. Misalnya, ada sebuah adegan di mana Sri Asih terjatuh dengan dramatis. Seolah-olah akan terluka, dan dia seolah tak berdaya. Tapi dalam adegan berikutnya, dia kemudian muncul, tersenyum, dan kondisinya tak kurang apa pun. Lah, terus ngapain dikasih adegan seolah berbahaya dan Sri Asih terlihat panik, kalau memang dia tak ada masalah terjatuh, War, Joko Anwar?

Selain itu, character building nya juga aneh. Sia-sia memasang aktris sekelas Christine Hakim untuk menjadi Nick Fury wannabe ketika dia tak dijelaskan singkat saja latar belakangnya seperti apa dan bagaimana dia mempunyai sumber daya itu. Atau tokoh kepala polisi perempuan, yang keliatan penting dan kayaknya akan menjadi karakter yang menentukan, jebulnya ternyata gak ada perannya. Hilang begitu saja, hahahaha.

Kesan yang saya rasakan sepanjang film adalah perasaan datar (dalam artian tidak ada satu pun karakter atau adegan yang bisa membuat perasaan saya larut), malah lebih banyak pengen ngamuk sekaligus ketawa. Tingkat bahaya yang dimunculkan oleh villain juga terasa biasa saja. Yakni, menakut-nakuti penduduk satu rusun, yang itu pun benernya bisa diatasi oleh Satpol PP. Gak perlu Sri Asih. Beneran, ancaman yang muncul keknya lebih sangar dari ormas jalanan deh, bukan dari sekelompok makhluk supranatural yang mempunyai pasukan jin dan tokoh astral sekelas thanos yang hendak dibangkitkan.

Satu-satunya hal baik dari film ini adalah pemilihan Pevita Pearce sebagai Sri Asih. Sangat menghibur. Saya gak bayangkan gimana jadinya film ini jika yang jadi Sri Asih adalah Beddu, atau Rigen🫣

Jika ada yang bertanya kepada saya, apakah sebaiknya nonton film ini? Maka jawaban saya adalah: tonton saja. Berikut alasannya:

1. Saya tak mau disebut tukang kritik yang terlalu mendewa-dewakan film Barat, dan selalu sentimen ke film anak negeri.

2. Tontonlah dengan alasan untuk membantu industri film dalam negeri. Selain itu, supaya anda bisa protes dan menuntut sineas kita untuk tak mengawang-awang dan membuat film Indonesia lebih baik.

Sumber : Status Facebook Kardono Ano Setyorakhmadi

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed