by

Robohnya Surau Ahmadiyah

Oleh : Muhammad Nurdin

Sudah sepekan berlalu terjadinya tragedi memilukan di Sintang, Kalimantan Barat. Duka masih mengepul, menambah muram perjalanan kehidupan beragama di negeri ini. Sebuah masjid milik Jemaat Ahmadiyah dirusak. Padahal, masjid tersebut baru selesai dibangun pada Mei 2021 lalu. Puing-puingnya menyisakan luka menganga di kedalaman batin warga Ahmadiyah. Sebelum tragedi pahit itu datang, saya pernah mengobrol dengan mubaligh Ahmadiyah di sana. Namanya, Maulana Nasir Ahmad.

Ia menceritakan tentang sebuah tekad kuat untuk membangun masjid yang kemudian dinamakan Miftahul Huda itu. Ia juga menceritakan soal semangat para Ahmadi dalam menyambut seruan atas tekad tersebut. Para Ahmadi adalah warga desa biasa yang hidup di daerah transmigrasi. Ekonomi mereka juga biasa-biasa saja. Tapi mereka menginginkan sesuatu yang tidak biasa untuk Rumah Allah. Karena bagi mereka, masjid adalah tempat terbaik memintal doa juga harap tentang kehidupan di dunia ini dan akhirat kelak.

Mereka tak peduli soal pandemi yang menghimpit nafas perekonomian mereka. Sebab dalam keyakinan mereka, masjid lah yang pada akhirnya menjadi sarana penyelamat kehidupan mereka. Ada seorang pekerja harian yang berpendapatan kecil. Ia menyampaikan kepada mubaligh bahwa sekian persen pendapatannya akan diperuntukkan buat masjid tiap harinya. Ia tak peduli jika harus pas-pasan menjalani kehidupan sehari-harinya. Yang lain ada yang menjual ternaknya untuk dipersembahkan buat masjid. Sebab hanya itu, harta terbaik yang bisa ia serahkan. Yang lainnya lagi juga turut mempersembahkan harta terbaik yang mereka cintai. Mereka berlomba untuk merebut perhatian Tuhan.

Tentu bukan pekerjaan mudah mempersembahkan sesuatu yang kita sayang bahkan untuk Rumah Allah sekalipun. Itulah mengapa dalam Quran Allah berfirman, kalian belum sampai pada definisi kebaikan sebelum mempersembahkan apa yang kalian cintai di jalan Allah.Allah menginginkan bangunan masjid hendaknya berdiri di atas pondasi keikhlasan juga kerelaan mempersembahkan harta terbaik kita untuk Rumah-Nya. Inilah keyakinan para Ahmadi yang hidup di sebuah desa bernama Balai Harapan itu.

Mereka menaruh seluruh harapan terbaik mereka dalam masjid tersebut. Tapi, memang seperti itulah masjid dalam pandangan kaum muslimin pada umumnya. Ia adalah tempat kembali yang selalu dapat diandalkan. Di saat-saat kita tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia. Di saat kita terjerembab dalam sengitnya masalah. Di saat tidak ada lagi tempat bernaung. Di Rumah-Nya lah kita bisa menemukan rasa “tak pernah ditinggal sendirian”. Allah telah meresepkan rasa itu terpatri secara sempurna dalam Rumah-Nya. Dia menarik perhatian manusia untuk mencari Kasih dan Cinta-Nya dalam tiap sujud yang dibenamkan di atas keramik dingin Rumah-Nya.

Dan Dia juga telah menanamkan satu khasiat yang ajaib di balik pinta yang penuh rintih juga harap di atas sajadah yang membentang.Bisakah kita membatasi masalah masjid ini pada hakikat masjid itu sendiri? Ia hanya Rumah yang dibangun untuk menyembah Allah. Perbedaan tafsir tak mesti menjadi sebab sebuah masjid menjadi terlarang bahkan harus dihancurkan atas nama “bela Tuhan”. Sebab masjid bukan tempatnya mendebat jalan-jalan menuju Tuhan. Setiap kelompok juga golongan punya jalan masing-masing menuju-Nya. Yang pada akhirnya, setiap kita akan sampai di penghujungnya. Kita tak bisa memaksakan harus jalan tertentu. Sebab ini bukan soal jalan mana yang cepat dan minim rintangan. Ini adalah soal rasa yang setiap kita bisa sangat berbeda satu sama lain.

Perbedaan memang niscaya, dimana seringkali berujung perdebatan. Tapi itu bukan alasan Rumah-Nya harus dihancurkan. Kita hanyalah manusia biasa yang banyak kekurangan, tempat khilaf, dan penuh lumuran dosa. Kita tak punya otoritas legal dari-Nya untuk merobohkan “ruang rindu” itu, antara hamba dengan Khaliknya. Perbedaan bisa didiskusikan. Kebenaran bisa dijelaskan. Tentu dalam ruang lain, dimana argumentasi dan dalil bisa saling beradu unggul untuk sekedar mencari alternatif atas perbedaan yang tak terhindarkan itu. Islam demikian indah menyikapi perbedaan. Bahwa semua itu harus menempuh tiga jalan.

Hikmah, nasehat yang baik dan beradu argumen dengan cara yang baik. Sebab Islam menghendaki kehidupan yang rukun dengan siapa saja dan dimana saja. Semua permasalahan dapat dibicarakan, bukan dipertengkarkan.Bisakah kita menyudahi perbedaan yang berujung pada kekerasaan terhadap golongan tertentu? Kita pasti bisa. Sebab sejarah bangsa ini tak bisa lekang dari kebhinekaan yang memanunggal, membentuk satu kekuatan besar untuk satu tujuan. Ya, itu adalah Persatuan Indonesia.Hingga akhirnya kita bisa merebut kemerdekaan dan menumpas penjajahan. Tentu, kita takkan sudi kembali kepada masa dimana ada sebagian kita yang masih hidup dalam bayang-bayang ketidak-merdekaan. by: Muhammad Nurdin

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed