Oleh : Sunardian Wirodono
Dalam 10 tahun terakhir ini, medsos adalah bak sampah. Pada setiap menjelang dan ketika Pemilu berlangsung. Di situ tampak watak dan perilaku paling liar sebagian masyarakat kita. Bukan seluruh bangsa, tapi sebagian. Dan itu sebagian kecil.
Mereka berbahaya? Tidak. Jumlahnya kecil. Bila saja ada pendapat ‘kecil yang terorganisasi lebih berbahaya dari besar yang pasif’, tidak juga. Karena yang kecil itu juga tidak terorganisasi, apalagi terdidik. Karena tidak terdidik maka tidak terorganisasi. Juga, karena tidak terorganisasi maka tidak terdidik.
Kalau pun ada banyak kelompok relawan atau pendukung, lebih banyak yang dipersatukan oleh uang. Kalau bukan oleh uang, kayaknya juga bukan oleh ideologi. Paling banter, oleh karena bius ketokohan aktor yang didukungnya. Dan itu bersifat temporer. Bukan permanen. Syukur-syukur dapet duit. Sapa tahu jadi komisaris.
Kita belum sampai pada sebuah gerakan politik yang canggih. Hanya mobilisasi sesaat oleh karena kepentingan sesaat. Seampuh-ampuhnya Amien Rais dan Rizal Ramli membolak-balik fakta. Selicin-licinnya Jusuf Kalla membebat kepentingannya. Sedungu-dungunya Rocky Gerung atau Fadli Zon membolak-balik kata. Mereka tak bisa mengubah keyakinan yang sudah frozen dan given. Apa itu? Sejak Pemilu 1955 hingga sekarang, komposisinya tak pernah berubah. Antara warna nasionalis dan agamais (terutama islamis, itupun bukan sesuatu yang solid). Jika pun ada kelompok tengah macam Golongan Karya, ideologi pragmatismenya bersifat fragmentaris. Kalau sekarang muncul istilah nasional-religius, itu hanya sebutan pragmatisme politik belaka. Bukan proses atau hasil perjuangan yang terukur.
Apakah namanya polarisasi, kohesi sosial itu terjadi lebih karena kepentingan yang canthelannya juga tidak kuat dan permanen. Hanya pada ketokohan orang. Sementara ketokohan orang juga sangat tidak jelas polanya. Juga sangat situasional.
Meski susah sungguh, orang baik dan benar, proporsional dan biasa-biasa saja, masih tetap dominan. Hanya karena demokrasi kita masih kuantitatif hitungannnya, maka seolah prosesnya tidak mudah. Padal, rasanya tidak terlampau sulit, meskipun lamban. Tergantung nanti perubahan jaman. Akan seberapa cepat menggusur yang coba bertahan dalam comfortable zone. Padal, tak ada zona nyaman yang menetap. Karena jaman dan generasi berubah, kebutuhannya juga pasti berubah. Para penghambat perubahan akan makin lemah syahwat.
Perubahan yang dimaksud, tentu perubahan yang hakiki. Kalau ada koalisi partai politik menamakan ‘koalisi perubahan’, belum tentu yang dimaksud berubah ke arah perubahan. Karena bisa jadi yang dimaksud gimana agar kekuasaan berubah ke arah mereka. Coba tanya, apa maksud kata perubahan itu? Mengubah sistem pemilu agar tidak elitis? Mengubah agar kedaulatan rakyat dicarikan jalannya? Mengubah struktur Kemenkeu dan meniadakan Kementrian Agama, misalnya? Atau apa saja yang mau diubah, dan bagaimana caranya?
Kalau ketika ditanya, jawabnya nanti jika sesudah formal dicapreskan? Maka perubahan hanya kata-kata politik yang klise. Kalau memang mau memperbaiki bangsa, berbakti pada negara, maka tidak akan takut gagasannya dijiplak lawan politik.
Sementara itu, entah apa namanya para pendukung capres yang bisanya hanya nyebar hoax, fitnah, ujaran kebencian. Mereka hanya menunjukkan bahwa pepundhen yang mereka dukung memang tidak layak. Apalagi kalau pepundhen mereka memanfaatkan kebodohan pendukungnya. Itu sama saja mereka menegaskan ketidaklayakannya. |
Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono III
Comment