by

Penghinaan Istri Presiden

Oleh : Sunardian Wirodono

Jangankan isteri Presiden, Presidennya pun dihina. Karena apa? Karena Jokowi. Dan karena itu, isteri Jokowi, anak Jokowi, ortu Jokowi, bahkan cucu Jokowi bisa kena getahnya. Yang ngedukung Jokowi pun, semuanya akan terkena cipratan kebencian. Siapa penghina atau pembencinya? Yang tidak suka Jokowi. Dan lebih-lebih, yang tidak suka Jokowi menjadi (atau sebagai) Presiden Republik Indonesia.

Yang suka Jokowi? Tentu tidak akan menghina. Kecuali semula suka, tapi kemudian kecewa, atau dikecewakan karena nggak dapet bagian. Sekalipun yang nggak suka, jika diadakan pemungutan suara per-kepala, sebanyak populasi penduduk Indonesia, hingga yang bayi-bayi sekalipun, bisa dipastikan lebih sedikit. Tidak percaya? Sila buktikan.

Sebagaimana di kelas sekolah kita dulu, dari 30-40 orang dalam satu ruangan, nama buruknya bisa ditentukan hanya oleh 3-4 orang saja. Sedangkan kebaikannya, meski dilakukan lebih dari separo isi kelas, belum tentu orang lain mau mengetahuinya. Karena lebih gampang terkenal menjadi buruk? Dan susah menjadi orang baik?

Entahlah. Apakah karena yang baik dan benar cenderung diam? Atau lebih karena doktrin kehidupan; Bahwa kebaikan dan kebenaran itu sebenarnya adalah sunatullah? Kodratullah? Sudah semestinya? Semempernya? Atau begitulah seharusnya manusia? Maka manusia-manusia di luar kriteria ke-umum-an tadi, punya kecenderungan psikologis untuk lebih provokatif, promotif, selebratif, aktif, atraktif, nylekitif?

Saya tulis; mungkin. Mungkin begitu. Mungkin tidak begitu. Karena saya bukan pengikut Soehartoisme yang mutlak-mutlakan. Semua yang dilakukan orang lain mutlak salah, sedangkan yang dilakukannya mutlak bener. Terus kalau tidak setuju, diblokir atau di-unfriend! Kalau jaman dulu; digebuk!

*

Generasi yang dididik dan mengabdi pada mesin algoritma tahu, bikin konten atau postingan negatif, atau katakan kontroversial, akan lebih viral daripada yang adem-ayem. Maka dari judul dan cara, orang jumpalitan mencari perhatian. Demi konten, seorang perempuan bisa-bisanya ngasih celdam untuk menutupi plat nomor sepeda motornya. Meminta suaminya untuk memvideoin. Terus diupload di tiktok. Saya sih nunggu ada yang membuka celdamnya, terus dari kelaminnya keluar ribuan laron. Apalagi kalau kelaminnya digondol laron-laron itu. Pasti viral.

Bukan hanya mesin algoritma yang berteori dan praktik semacam itu. Ada lho, manusia yang melakukan ternak manusia, bahkan untuk tujuan politik. Karena itu, yang efektif-efisien, manusia dididik sejak dalam kandungan. Kader perempuannya, diwajibkan melahirkan bayi setahun sekali. Kader lelakinya, didorong untuk poligami. Katanya sunah nabi.

Menghina Presiden, atau tepatnya Jokowi, selalu alasannya kebebasan berpendapat, mimbar bebas, demokrasi. Lha, mbahmu! Hanya manusia goblog yang tidak bisa membedakan antara kritik dengan hinaan atau celaan. Mengaku aktifis demokrasi (ditambah hukum dan ham), tetapi menghina akal sehat.

Undang-undang atau aturan hukum kita jelas, mengritik Jokowi sebagai presiden yang tidak jelas kebijaksanaannya, tidak apa-apa. Jokowi dibilang tidak becus memimpin Presidensi G20, bolah-boleh saja. Mengritik proyek IKN membebani ekonomi Negara, tidak bakal ditangkap. Tetapi mengatakan Jokowi mencuri ijasah teman SMA-nya, dan meminta yang dituding mencuri untuk membuktikan di persidangan? Itu masuk pasal penghinaan, dan memenuhi syarat masuk penjara jika tak bisa membuktikan tudingannya sendiri.

Para penghina Jokowi, adalah manusia sangking-ndene. Kebenciannya, jika bukan karena politik dan kekuasaan, lebih karena sikap dan pandangan hidupnya. Belum bisa move on dari kenyataan bahwa nilai-nilai berubah. Mereka orang-orang konvensional yang terfrozen kemapanan nilai-nilai lama yang sudah ketinggalan sepur. Makanya Jokowi mau bikin kereta cepat saja diketawain. Bahkan Gubernur DKI Anies Baswedan waktu itu, mengritik daripada mindah ibukota RI ke IKN, mending menjadikan Jakarta sebagai kota baru dunia. Sementara nanganin banjir Jakarta saja masih jadi persoalan baginya.

Dalam pandangan para konvensionalis, Jokowi bukan prototype mereka. Bukan ideal type mereka. Orang-orang ini, persis para pemilih SBY dulu, karena berlatar belakang militer pasti lebih tegas dan berani. Ternyata pemerintahan Indonesia tidak menjadi lebih baik di tangan SBY. Makanya tampilan fisik isteri Presiden, sebagai Ibu Negara Indonesia, yang tidak modis dan tidak mbody itu, diasosiasikan sebagai ‘bibi’, dibanding Ibu Negara Korea Selatan. Layak disuruh mbikinin minuman doang? Itu kritik atau penghinaan? Atau Cuma niatan seorang komika medsos, melucu bawah sadar?

*

Jokowi adalah korban politik identitas sebenarnya. Serangan padanya tidak pernah lepas dari penyangsian agamanya, etnisnya, ideologinya, bahkan pendidikan formalnya. Untuk mendelegitimasi semua capain-capaiannya, dengan pandangan-pandangan normatif dan formalistik? Karena Jokowi Cuma rakyat jelantah. Tidak berdarah biru. Hanya tukang bikin meubel. Ndesit. Kalau ngomong plegak-pleguk. Cara jalannya agak lembeng. Wajahnya tidak setampan Al Pacino. Cuma S1, itu pun sarjana kehutanan. Dan dari UGM pula. Bukan doktor dari USA. Dan seterusnya, sila cari sendiri yang ndesit-ndesit dari Jokowi.

Itu khas penilaian korban dari orang-orang yang sering baca dongeng; bahwa Presiden adalah titisan Dewa. Gagah-perkasa. Wajahnya rupawan. Turunan ningrat. Pendidikannya tinggi. Bahsa Inggrisnya cas-cis-cus. Hambelgedes!

Padal, kemenangan Jokowi di Pilwakot, kemudian Pilgub dan akhirnya Pilpres, adalah pesan perubahan politik significant dari rakyat jelantah, setelah capek dengan tipuan Reformasi 1998 yang omong kosong. Begitu Soeharto tumbang, partai politik dan parlemen, jadi sarang korupsi. Terpilihnya Jokowi, adalah kritik pada demokrasi kita yang elitis. Bahwa oligarki partai merebutnya kembali, karena sistem politik kita membutuhkan perubahan radikal, dan rakyat jelantah belum juga punya rumusannya. Para pejuang demokrasi kadang kayak buta-cakil. Berumur pendek atau mati tertusuk kerisnya sendiri, karena pencilakan atau bedigasan.

Bahkan Reffly Harun pun, yang dijuluki beberapa media sebagai Ahli Hukum Tata Negara, mungkin sangking tidak mendapat materi konten youtube-nya, mengatakan bahwa kelemahan Jokowi adalah bahasa Inggrisnya. Ia meminta Jokowi meniru Soeharto (yang hingga ke ujung dunia pun pakai bahasa Indonesia, dan selalu didampingi penterjemah). Ahli Hukum Tata Negara apaan? Negara kacrut? Atau negara kadrun?

Saya, secara pribadi juga kehabisan kata-kata. Tidak orang pinter dari perguruan mana, tidak orang saleh dari nganu mana. Jika menyangkut kepentingan politik, selalu menunjukkan adab seperti tukang sulap. Meniadakan yang ada, dan mengadakan yang nggak ada. Yang baik digelapkan, yang dinilai buruk diada-adakan. Untungnya, Gibran dan Kaesang anak Jokowi. Coba kalau kedua anak itu ternyata anak Soeharto. Tidak mungkin bukan?

Karena hanya bangsa yang kemenyek, yang masih mau berpegangan pada politik identitas. Orang yang hanya melihat tampilan fisik seseorang. Bukan karena menilai kinerja. Merekalah sebenarnya manusia dengan virus inferiority-complex, sekaligus praktisi politik identitas yang sebenarnya. |

Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono III

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed