Oleh: Supriyanto Martosuwito
Berurusan dengan DPR RI, khususnya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) – seperti menghadapi ormas Islam intoleran-anarkis, dan anak anak yang lagi tantrum; cenderung sensi, emosi gampang meledak, marah-marah, senang berteriak, mengamuk, banting mainan, barang dan guling guling.
Ormas Islam intoleran punya modus khas untuk merespon kejadian dan kekhilafan, tokoh, pesohor, warga, yang ada celah untuk memeras dan kibar bendera. Mereka “tantrum”, demo, dan teriak teriak : “Menista Agama”, “Menghina Islam” – “Mengriminalisasi Ulama”, “Melecehkan Umat” dan tudingan seram lainnya.
Ujung ujungnya damai dan minta konsesi.
Demikian juga sebagian para politisi di DPR RI. Karena rendahnya wawasan mereka, kurang sadar diri, kejar setoran, sibuk cari balikan modal – mudah emosi. Ketersinggungan mendahului logikanya dan sering umbar kemarauan tanpa kendali. Utamanya saat kepentingannya tak terakomodasi.
Mereka jadi “tantrum” ; ngambekan, salah paham, sengaja mengelirukan, keras kepala dan “ngeyel” – teriak teriak, bentak bentak, sambil gebrak gebrak meja.
Kolega mereka sendiri – yang kini ada di luar parlemen – menyebut di antara wakil rakyat yang di Senayan itu – memang (ada yang) “rada rada blo’on”.
Sudah biasa dan terjadi bertahun tahun, para mitra mereka di pemerintahan, eksekutif, BUMN dan swasta – dibikin serba salah: memenuhi undangan rapat dengar pendapat (RDP) salah, kena omelan, dimaki maki, banyak mintanya. Dan kalau tersinggung main usir.
Akan tetapi, tidak memenuhi undangannya juga salah; dianggap menghina dan melecehkan lembaganya. Lembaga negara.
Menteri BUMN Dahlan Iskan pernah mengungkap, saat diwawancarai channel Akbar Faisal, resiko menolak permintaan jatah Lebaran (sejuta dollar!) yang berdampak dikirimi undangan RDP berkali kali dan bikin repot jajaran direksi PLN.
Insiden terbaru terjadi di Komisi VII DPR RI yang Kamis (8/6/2023) lalu, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dengan Plt Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Direktur Jenderal ILMATE Kementerian Perindustrian, dan para bos perusahaan smelter nikel yang banyak berasal dari China – dengan agenda tata kelola niaga nikel di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno meminta masing-masing bos smelter memperkenalkan diri dan asal perusahaannya. Namun yang menyita perhatian, ternyata ada beberapa bos smelter yang tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia.
Beberapa boss yang notabene adalah warga negara asing (WNA) dari China tersebut memperkenalkan diri dengan menggunakan bahasa Inggris dan China.
Eddy Soeparno kemudian menegur karena rapat ini seharusnya menggunakan bahasa Indonesia.
“Ini adalah rapat resmi dengar pendapat, yang menggunakan bahasa Indonesia, ini adalah aturan. Sehingga anda harus diwakilkan oleh seseorang yang dapat berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Kami akan menunggu presentasi Anda, jadi harap orang penerjemah anda hadir di ruangan ini,” tegas Eddy dikutip, Sabtu (10/6/2023).
Padahal saya lihat videonya ada penerjemah di samping direksi yang memperkenalkan diri.
Mengharuskan penggunaan bahasa Indonesia di DPR itu benar. Sah. Ada aturannya. Tapi memaksa pengusaha asing agar bisa berbahasa Indonesia, sungguh keliru. Karena sudah ada tenaga penerjemah.
Dalam hubungan dan kerjasama lintas negara, menghadirkan penerjemah sudah merupakan kelaziman. Jadi masalah RDP yang jadi arena omelan itu, bisa disederhanakan: dampingi narasumber dengan penerjemah. Selesai.
Kalau mereka memahami etika, dan berwawan global dan tahu adab; mereka lah yang sediakan penerjemah, atau menginformasikan mereka sebelum datang – agar membawa penerjemah, bukan main fetakompli (fait accompli) : harus ngomong sendiri bahasa Indonesia. Lalu mengamuk.
Tapi begitulah. Sejak awalnya memang sensi. Munculnya investor China bikin mereka senewen. Bibit rasisme nampaknya ada juga di sana.
Berita dan siaran berita (press release) yang beredar dan dikutip media arus utama (mainstream) mengandung penggiringan opini anti asing – anti modal asing – khususnya anti China. Dan reaksi koor netizen pun jadi senada. Memuji muji ketegasan pimpinan sidang dan menyesali kenapa perusahaan asing dan orang asing menguasi negara kita.
Kersinggungan para politisi Komisi VII DPR RI – yang didukung oleh banyak pihak atas nama “nasionalisme” – menimbulkan berbagai spekulasi, di balik aturan baku keharusan berbahasa Indonesia itu.
Dugaan paling masuk akal, tidak semua anggota dewan memahami bahasa Inggris. Karena memang tidak semua wakil rakyat kaum intelektual. Mereka berpendidikan, ya. Punya ijazah, ya. Tapi intelektual belum tentu.
Kalau menilik laman dpr.go.id, sebagian dari mereka ada yang bergelar SH, MM, MH, M.Si, dan MSc. Tapi, kecuali impinan sidangnya, yang lain belum tentu paham bahasa asing.
Itu sih, tidak masalah, asal sadar diri dan tahu diri. Minta ditemani penerjamah.
Tapi, pokok soalnya – kenapa menghadapi pengusaha asing langsung panik? Mempermasalahkan penggunaan bahasa dan cara komunikasi. Bukan pokok soal masalahnya?!
Sungguh kekanak kanakan.
INVESTOR adalah pebisnis. Di era global ini, pergerakan modal bisa setahun atau dua tahun saja. Atau lebih. Tidak lagi puluhan tahun. Jika iklim investasi jelek, tak menguntungkan, mereka segera pindah. Ganti negara lain atau geser ke negeri sebelah.
Pergerakan modal triliunan juga sudah lintas negara, “borderless”. Jadi, tidak ada keharusan investor untuk bisa berbahasa Indonesia.
Jangan bandingkan dengan pekerja kita (TKI) di sana yang memang harus paham bahasa mereka, karena harus kontak langsung dan melayani warganya. Sedangkan investor dan para direksinya di sini – hanya berurusan dengan staf mereka sendiri. Maka mereka berhak mendapatkan staf yang bisa bahasa mereka.
Mosok yang gitu gitu musti diajari?!
Lagi pula, kenapa nyolot amat menghadapi investor dari Cina? Mentang mentang tak dapat bagian? Gak dapat angpau?
Apa berani anggota Komisi VII – DPR RI mengomeli bule bule Freeport dan direksi tambang asing lain – yang puluhan tahun menguras kekayaan Papua di sini? Apa mereka juga marah marah sama pemodal Jepang dan Korea? Kok umbar emosinya sama orang China saja?
Investor asing datang ke negeri kita lantaran diundang – diiming imingi berbagai insentif – karena kita memerlukan mereka, modal besarnya, tenaga ahlinya dan teknologinya.
Gunung emas, tembaga dan mineral lainnya di Papua tetap tersimpan di bumi Papua, gas tetap ada di bumi Aceh, minyak di Riau – berada di dalam bumi hingga 1,6 km di dalam bumi – selama ratusan tahun, kalau tidak ada orang asing teknologi asing dan modal asing – dalam hal ini perusahan Amerika – yang datang dan mengangkatnya. Suka atau tak suka.
Mau contoh global yang ektrim?
Jazirah Arab tetap jadi lautan pasir dan suku suku terbelakang di sana yang kemana mana menunggang onta, tetap terbelakang, sunyi dan miskin, sampai sekarang – jika negeri mereka tidak kedatangan orang asing, pemodal asing, teknologi asing dan investor asing.
Membangun opini anti asing, anti investor asing, anti pemodal asing, khususnya investor China – adalah kebodohan sesaat yang bermotif politik yang sedang dimunculkan di Komisi VII DPR RI.
Kalau memang sumber daya dan modal sendiri ada – kenapa sumber daya alam kita ditawarkan ke investor asing? Kenapa dari dulu tidak dikeduk sendiri?
Demikian juga dengan potensi nikel di bumi kita, di kawasan Sulawesi yang kini ditangani oleh perusahaan China dengan modal dan teknologi mereka.
Dalam “insiden bahasa” di Komisi VII itu – patut diduga – ada “titipan” pelampiasan kekesalan dari pihak kroni / sponsor pencalegan, bandar mereka – yang proyeknya jatuh ke perusahaan asing yang diundang itu. Bukan jaringan kroni mereka.
Sesungguhnyalah, kaum oposan atau mereka yang antipati pada pemerintah di gedung dewan, di Senayan, selalu punya alasan untuk kritis, marah marah dan terus menyampaikan opini kenegatifan melalui RDP, media dan masyarakat. Dalam situasi apa pun!
Dalam konteks investasi, demikian juga. Mereka bisa menyerang dari dua sudut.
Ketika investor asing yang datang sedikit, mereka teriak : “Negara kita tak diperhitungkan internasional” – “Pebisnis global tidak menganggap kita lagi!” – “Kredibelitas pemerintah rendah!” – “Ayo Ganti Presiden!”
Ketika presiden / pemerintah sukses menghadirkan investor asing, pemodal berbondong bondong datang – mereka marah juga : “Negara kita sudah dikuasai asing!” – “Negara kita sudah dikapling kapling asing dan aseng!! ” – “Bahaya mengancam NKRI”
Bahkan ada yang melow, “Repot kita, marwah kita jatuh, dilecehkan, yang diundang enggak mau hadir, enggak jelas. Kita harus tegas, kalau perlu, kalau enggak mau datang juga kita turunkan polisi memanggil. “
Benar kata Gus Dur, dahulu itu : Mereka kumpulan anak TK !
Gampang tantrum! **
PS : Kelak, dalam perbincangan dengan KH Maman Imanulhaq Faqieh di Masjid Al Munawaroh, kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, Gus Dur menyampaikan penyesalannya; menyebut kelakuan para anggota DPR “seperti anak TK”.
Karena DPR RI itu Lembaga Negara, ya Gus? Kata KH Maman Imanulhaq.
”Bukan itu! Saya merasa berdosa telah meremehkan anak-anak yang suci, cerdas dan kreatif dengan anggota DPR yang kotor dan kreatif mencari celah mencari uang,” kata Gus Dur.
(Sumber: Facebook Supriyanto M)
propaganda Amrik betul2 berhasil bikin politisi senayan jadi anti China.
ya itulah anggota DPR kita cuma bisa,
ngomel ngancam nggerutu,
tapi kalo sama Amrik puja2 kayak yg paling bener,
Amrik di suruh bantu transfer teknologi bikin smelter di tambang nikel ogah,
yg mau cuma China tapi di benci.
knp ga bikin undang2 aja kayak Amrik,
“anti China”