by

Jika Politik Kotor, Maka Buruk Muka Pers Dibelah

Oleh : Sunardian Wirodono

Adakah kebebasan pers, sampai ketika kita memperingati Hari Pers Nasional 2023, dengan tema “Pers Merdeka, Demokrasi, Bermartabat”? Tanda tanya dalam kalimat itu sebenarya lebih tepat diletakkan pada temanya; “Pers Merdeka, Demokrasi, Bermartabat?”

Dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, apalagi di era digital ini, persoalan kemerdekaan, kedemokrasian, dan kemartabatan, akan berpulang pada karakter media masing-masing dengan para pelakunya. Bukan atas nama moral, etika, atau pun hukum, ketiga hal tema HPN tadi tidak melekat pada pemegang regulasi, pemerintah, atau bahkan negara. Melainkan kembali ke pelakunya.

Ancaman kebebasan pers, bukan lagi dari penguasa (regulasi, hukum), tetapi penguasa modal dari usaha penerbitan pers itu sendiri.

Saya beri perbandingan. Beberapa kali menjadi redaktur dan kemudian bekerja di industri media televisi nasional, pada jaman Orde Soeharto Bau, saya merasa belenggu kebebasan.

Buku reguler tahunan saya ‘Gerakan Politik Indonesia’ yang lancar-lancar saja untuk epidoe 1994 s.d 1996, tiba-tiba untuk 1997 tak bisa diterbitkan. Kata penerbitnya, tidak didapatkan ijin. Dari IKAPI? Tidak. Tapi dari Polda Metro Jaya.

Ketika saya kerja di salah satu TV Nasional, hendak membuat film cerita menyambut Indonesia Emas 1995, kami riset ke Pusat Sejarah ABRI, ke pelaku sejarah, berbagai data referensi, untuk membuat film bersetting awal Kemerdekaan Indonesia 1945. Skenario film itu tidak mendapat ijin prinsip dari Departemen Penerangan di bawah Harmoko. Karena dituding menyalahi sejarah. Tesis atau tema yang kami ajukan dulu, kemerdekaan Indonesia juga karena perjuangan dan pengorbanan rakyat. Tidak selalu dalam epos peperangan kita mengalami kemenangan. Mitos bambu runcing dan takbir, tidak kami tonjolkan. Kami dituding menghina sejarah. Komisaris stasiun TV (meski swasta), adalah para jenderal TNI AD, mereka pengawas internal semua siaran media TV.

Waktu saya pegang seksi dokudrama di stasiun TV yang sama, kami punya program memadukan kisah nyata dengan gaya sinematik. Ketika hendak membuat cerita anak-anak Girli Yogyakarta (sebelum Garin Nugroho membuat film dokumenter Dongeng Kancil dan Daun di Atas Bantal), naskah kami juga dilarang diproduksi karena 13 catatan, antara lain, satu yang saya ingat betul: Tidak boleh memunculkan kekumuhan.

Jadi harus digambarkan anak jalanan berpakaian mewah seperti Tomi Soeharto, Pak Har?

Jaman kini? Apakah rezim kekuasaan jaman digital masih bisa begitu? Proses demokratisasi kita, yang juga didorong kemajuan teknologi, membuat pemerintah tak lagi bisa otoriter. Medsos sendiri membuktikan, negara kelimpungan menghadapi keliarannya.

Belum lama lalu, Butet Kartaredjasa menwhasapp saya mengenai keputusannya, soal sikapnya atas komik strip Bung Sentil di Media Indonesia (sori Tet, waktu kamu ngundang untuk reriungan dengan Sawung Jabo dkk, nggak bisa ikut reriungan). Ia tidak akan lagi membuat ‘Bung Sentil’ yang dikerjakannya bersama Widiyatno sebagai penggambar.

Kenapa? Kita tahu, Media Indonesia adalah salah satu lini media milik Surya Paloh, yang bukan kebetulan juga Ketua Umum Partai Nasdem. Kita tahu juga, Partai Nasdem Oktober 2022 sudah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres untuk Pilpes 2024. Di situ persoalannya, conflict of interest terjadi.

Kita tahu ‘Bung Sentil’ adalah komik-tajuk yang berisi tema-tema politik aktual. Kentara di situ sikap dan pandangan politik kreatornya. Lepas dari soal ‘ketidakcocokan’ Butet dengan capres Nasdem, ‘Bung Sentil’ akhirnya dibunuh sendiri oleh Butet karena karya terakhirnya, yang mestinya bisa dinikmati publik secara luas, tak terlaksana karena redaksi MI menyatakan komik itu tidak bisa dimuat.

Karena apa? Karena MI sebagai media pers merdeka melarang dan merdeka menganggap tidak layak? Demokratiskah dengan keputusannya membungkam karya kreatif yang merefleksikan suara publik? Dan bermartabatkah dalam menjunjung kebebasan pers yang diagung-agungkan? So, siapa yang melakukan pengekangan kebebasan pers? Tukang bakso?

Butet dengan sadar memilih membunuh Bung Sentil, daripada puyeng. Sudah 13 tahun Bung Sentil di MI, dan tanpa masalah. Barulah ketika jagoan berubah, pandangan berubah. Untungnya Butet memilih keputusan yang lebih bermartabat, sebagai seniman yang kemerdekaannya tak hendak disodorkan pada pragmatisme politik, dan ekonomi. Taniah, Butet!

Jika politik mengotorinya, maka pers hanyalah kepanjangan tangan untuk bikin lebih kotor lagi. |

Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono III

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed