by

Honor Ustadz dan Dosen

Oleh : Budi Santosa Purwokartiko

Kemarin di salah satu WAG yang saya ikuti, beredar poster training dimana saya akan jadi pematerinya. Lalu beberapa teman menanyakan rangkuman isi training, yang lain cerita akan menyebarkan poster itu ke teman2nya. Lalu sampailah pembicaraan soal honor saya. Saya bergurau pasti honorku di bawah honornya UAS.Lalu salah satu teman menyebut honor UAS saat diundangnya. Wow, hampir 5x lipat honor saya. Malah teman pengusaha menyebut angka hingga puluhan juta utk menghonori penceramah agama.

Besar sekali. Petani dengan satu patok sawah perlu menanam padi 5x untuk dapat honor sebesar UAS dengan syarat tidak dimakan hama wereng atau tikus. (Lebih enak ceramah agama daripada mengajar sains 🙂 ) Setelah saya sebut honor saya 1/5-nya honor UAS, teman2 WAG saya yang kebanyakan jauh lebih senior dan sdh jadi boss itu pada diam. Mungkin prihatin mengetahui betapa murahnya saya dibayar. Mungkin.

Padahal saya santai2 saja. Bagi seorang dosen, agak tabu membicarakan tarif. Mau dibayar berapa kita (saya) nggak pernah tanya di depan. Yang lebih penting adalah berbagi ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat. Pernah ada suatu kampus ngundang saya dan tanya gimana saya akan dibayar? Saya bilang “ikuti aturan saja”. Dia sungkan karena menurut aturan hanya kecil honor untuk membayar pembicara tamu. Saya bilang “nggak masalah”.

Saya ingat obrolan singkat saya lewat WA dengan Direktur Beasiswa LPDP, kira2 intinya begini.”Mas ngisi kuliah tamu nyang kampusku ya?” kataku.”Beres..””Tapi sesama lembaga di bawah kemendikbud dilarang ngasih honor lho.””Wis rasah honor-honoran!” tegasnya.Nah itu tuh mas Dwi Larso temanku itu bilang nggak usah honor2an!! Memang aslinya orangnya santai. Sejak mahasiswa saya sudah kenal.

Makanya ustadz itu sebaiknya jangan jadi kerjaan utama, tapi sampingan, bukan untuk nyari duit. Jangan ceramah untuk cari honor. Biar kata2nya mencerahkan. Eh maaf kok ke situ.

Di Amrik seorang profesor diundang bicara di forum akademik, tidak dihonori. Penghargaan akademisnya yang jadi gengsi bukan uangnya. Di sini masih mending. Atau di sini levelnya masih beda.Soal honor saya, saya nggak terlalu memikirkan. Bayaran sesungguhnya tentu lebih besar, bukan selalu dalam bentuk uang dan bisa datang darimana saja. Itulah rejeki. Yakinlah kalau kita hidup ngomongin besaran, hidup kita nggak akan bermakna. Pernah juga saya diundang, hanya bicara kira2 1/2 jam, lalu diberi honor besar sekali (menurut ukuran saya). Ini juga rejeki.

Pembicara terkenal, dosen UI, pernah akan diundang teman ke ITS, tanya tarifnya. Angkanya fantastis. Semahal ngundang artis kondang dengan crewnya. Ya dia sudah terkenal. Maklum. Semakin populer, semakin dibutuhkan saran2nya mungkin akan begitu tarifnya. Tentu saja teman saya nggak jadi mengundang. Sulit mendapatkan pos anggaran.Mungkin lebih enak dalam hati dan pikiran kita mendasari semua aktifitas, dengan pertimbangan manfaat, bukan besaran uangnya. Tapi tidak juga gratisan. 🙂 Sekali kita bisa memberikan suatu manfaat, rasa tentram dalam hati akan lebih terasa dan lebih lama terasanya. Buktikan.

Sumber : Status Facebook Budi Santosa Purwokartiko

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed