by

Hendrawan Nadesul, Penyair yang Kesasar

Oleh: Supriyanto Martosuwito

Setiap kali ada yang memuji rumahnya yang asri dan indah di Pondok Indah, kawasan elite selatan ibukota, dokter Handrawan Nadesul merasa dirinya kesasar.

“Seharusnya saya menjadi arsitek, bukan dokter, ” katanya dengan nada menyesali, tapi kemudian tertawa.

Saya sedang di depan rumahnya ketika dia mengucapkan itu, di kawasan elite Jakarta yang tenang, meski lalu lintas jalan raya yang sibuk, nampak dari jauh.

Tapi terus terang dia membanggakan rumahnya yang asri dan indah, dengan cat putih, gaya kolonial, banyak pohon, banyak daun dan bunga di depan teras dan halamannya – yang dibiarkan tumbuh alami dan banyak ditaksir orang.

“Ada ibu ibu yang kalau lagi jalan pagi selalu berhenti di depan, melihat lihat lebih lama. Lalu saat ada waktu ngobrol, dia minta tukeran dengan rumahnya yang besar, dan lebih megah, di seberang sana, ” katanya, sembari menunjuk rumah besar di seberang.

Dia menempatinya beberapa puluh tahun lalu, ketika kawasan itu masih sepi. Kini di sekitarnya menjadi hunian para jendral, polisi, jaksa dan pengacara. Kawasan elite. Dulu dia membelinya waktu harganya masih terjangkau dan membangunnya sendiri, mendesainnya sendiri dan mengawasi pembangunannya sendiri – sehingga menjadi indah dan sesuai seleranya.

Rumahnya di Pondok Indah adalah rumahnya yang kedua. Rumah pertamanya lebih kecil di kawasan Sunter, Jakarta Utara, yang juga mengundang decak kagum para pelintas, dan akhirnya dilepas kepada Hedy Diana, penyanyi JK Record, yang lama terobsesi untuk memilikinya.

“Dia bilang terobsesi untuk memiliki. Katanya kalau dapat bonus dari rekaman dia akan beli. Dan setelah albumnya meledak, dia dapat itu – produsernya yang langsung ketemu saya dan bayarin. Ya, saya jual saja, ” katanya.

Kenapa dia jual ?

“Sudah lama saya merasa bahwa yang namanya ‘rumah di Jakarta’ itu ya di daerah Selatan. Puji Tuhan saya dapat di sini. Yang punya mau keluar negeri, ditawarkan berbulan bulan gak ada yang beli. Saya dapat dengan harga miring. Tiga hari setelah saya bayar, dia terbang, ” katanya.

Saya dapat rekomendasi menemuinya dari sahabatnya sesama dokter yaitu dokter Samuel L Simon, ahli perawatan kulit. Sesama dokter ganteng dan fit di usia 70an tahun lebih. “Kami terlibat dalam persekutuan, ” katanya membenarkan.

Persekutuan doa? “Bukan! Persekutuan sate dan sop kambing di Taman Anggrek, ” katanya, sembari ketawa terkekeh.

Tentu saja saya mengenalnya lebih lama, karena dia penulis, penyair, dan dokter pengasuh rubrik kesehatan di berbagai media massa yang sangat produktif.

Akhirnya saya menjumpainya juga. Tatap muka, mendatangi meja kerjanya yang sesak dengan buku buku. “Saya sudah tidak praktik. Saya menulis saja untuk di bagikan ke media sosial. Gratisan. Pengabdian di hari tua, ” kata pensiunan dokter dengan tunjangan tiga juta perak sebulan ini.

Alumni Fak Kedokteran Atmajaya yang pernah jadi Kepala Puskesmas di Bogor ini menerima bayaran kalau bicara di depan publik, seminar dan semacamnya.

Sebagai sesama profesi yang hidup dari menulis, saya “kalah awu” – kalah wibawa – langsung minder – berhadapan dengannya. Bukan saja berkarya lebih lama, sejak 1972 – 10 tahun lebih awal menulis di media – melainkan dia bensr benar menulis untuk hidup sembari kuliah di kedokteran.

“Pada masa perjuangan, saya harus menulis dua artikel sehari dan mengantar langsung ke redaksi. Dengan begitu saya bisa hidup di Jakarta sembari kuliah, ” katanya. Dia mengaku berasal dari Bogor, tapi dibesarkan di Cikampek. Lalu “hijrah” ke ibukota untuk melanjutkan pendidikannya.

Bahkan redaksi harian ‘Kompas’, masih berkantor di kawasan kota, sebelum pindah ke Palmerah, Jakarta Barat, ketika bersama sama Adri Darmaji Woko dan Nooca Massardi, serta seniman lainnya “menjual” tulisan untuk koran.

“Saya sudah jadi calon dokter waktu belum punya stateskop. Harus nabung dulu dari honor sekian tulisan. Saya beli baju seragam dokter, dari hasil menang ngisi TTS, ” kenang pensiunan Dinkes DKI Jakarta ini.

Betul betul perjuangan. “Hari hari makan di warung tegal di depan kampus Salemba, ” kenangnya lagi.

“Jangan bandingkan saya dengan dokter Simon. Dia turunan orang kaya. Sekolahnya aja di Jerman, ” katanya, menyebut sahabatnya.

Ojo dibanding bandingke, ya, dokter Simon?

”Walllah, saya ‘kan di Jerman juga jadi sopir taksi, pelayan restoran dan kerja sampingan lain buat biaya hidup di sana. Memangnya saya kuliah doang? ” sergah dokter Simon ketika dimintai tanggapannya.

SAYA mengenal banyak dokter yang piawai menulis. Generasi remaja 1970-an tentulah tahu siapa Marga T sebagai novelis fenomenal yang membuat karya besar yang difilmkan, “Karmila” dan “Badai Pasti Berlalu”. Ada pula, novelis produktif, Mira Wijaya alias Mira W, yang karyanya juga banyak difilmkan. Ada Kartono Mohamad, kakak eseis, jurnalis dan penyair Goenawan Mohamad. Semuanya dokter.

Ada lagi, Feisal Baras, dokter yang esei kesehatannya mengharu biru. Lalu Dokter Wirawan Sarwono, yang akrab dengan dunia remaja. Dan ‘last but not least’, Dokter Handrawan Nadesul, dokter, penulis kesehatan dan penyair, produktif menulis dan menerbitkan buku puisi.

“Awal jadi penyair saat masih SMA lantaran saya jatuh cinta, ” kenang dokter Handrawan. “Tapi jatuhnya kebablasan sampai 50 tahun, ” kenangnya, sembari terkekeh.

Dia produktif menerbitkan kumpulan puisi, bahkan menjadi pendiri Komunitas Penyair Poci, bersama sama Adri Darmadji Woko, Kurniawan Junaedhie, Prijono Tjiptoherijanto, Oei Sien Tjwan, Piek Ardijanto Soeprijadi, Rita Oetoro, Eka Budianta, dll

“Saya ikut menyesatkan Kurniawan Junaedi. Pada awalnya dia gak mau jadi seniman, tapi karena saya jadi nyeniman juga, ” katanya, ketawa.

“Dulu saya gondrong, setelah semester empat, saya potong. Mosok dokter gondrong? ” kata mantan seniman Bulungan ini.

Berbeda dengan WS Rendra, penyair yang “berumah di atas angin” – Handrawan Nadesul berumah di Pondok Indah di Jakarta Selatan. Penyair Elite. Tinggal bersama isteri dan anak anaknya, hidupnya sempurna.

Menikahi wanita idaman, anak anaknya sukses, meski tak ada yang meneruskan jejaknya sebagai dokter, penulis atau penyair. Dan yang penting dia masih sehat dan bugar.

“Saya 74 tahun dan saya masih kuat naik ke kawah Ijen, ” katanya.

Kawah Gunung Ijen ada di perbatasan Banyuwangi – Bondowoso, Jawa Timur. “Tiga ribu mdpl, ” katanya bangga.

Naik Kawah Ijen aja masih bisa. Apalagi naik yang lain. Ya, nggak, dok?

Maksudnya naik tangga atau pesawat, gitu***

(Sumber: Facebook Supriyanto M)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed