by

Ciri Orang Relijies

Oleh : Harun Iskandar

Sekarang banyak kita jumpai di jalanan, mobil punya sodara kita yang muslim, kaca bagian belakang tertulis πΎπ‘Žπ‘™π‘–π‘šπ‘Žπ‘‘ π‘†π‘¦π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘‘π‘Žπ‘‘ dengan huruf besar2, sampai penuhi seluruh area kaca. Berupa stiker.

Kadang ‘cuma’ ditempeli stiker seorang Bapak sedang gandeng 2 atau 3 anak di tengah, di sisi pojok lain ada Ibu-nya yang pakai jilbab, ditambahi tulisan π‘€π‘œπ‘ π‘™π‘’π‘š πΉπ‘Žπ‘šπ‘–π‘™π‘¦ . . .

Ada juga digantung seuntai π‘‡π‘Žπ‘ π‘π‘–β„Ž, di spion depan. Gondal-gandul . . .

Belum jelas, apakah sodara2 kita yang Kristiani juga gantungkan Salib berantai, di tempat itu. Tapi pernah saya lihat juga di kaca belakang ditempeli stiker yang bernada ‘relijis’. 𝐻𝑒𝑔 𝑀𝑒 π‘Œπ‘’π‘ π‘’π‘ , atau πΊπ‘œπ‘‘ πΏπ‘œπ‘£π‘’π‘  π‘ˆπ‘  . . .

Waktu lihat semua itu, rasanya ‘gimana gitu’.

Pokoknya, sejak merasa ‘begitu’, tasbih yang biasa tergantung di spion mobil saya copot. Pikir saya, sudah saatnya ndak perlu tampilkan identitas ‘kesarngian’, atau ‘relijis’.

Untuk apa juga . . .

Pernah srempetan dengan mobil ‘sodara’, karena mobilnya sama2 ‘berkalung tasbih’, berkelahi juga. Sama2 ndak mau ngaku salah. Sama2 minta ganti rugi.

Sama sodara kok begitu . . .

Sering juga lihat sodara2 yang Kristiani di Mall, atau di jalan, pakai kalung yang ada gantungan Salib. Keren kayaknya. Apalagi rantai dan salib tampak sedikit mengkilap, tapi ndak terkesan norak.

Terpikir saya jadi pingin juga pakai kalung.

Kalau orang Islam pakai kalung model apa ? Pakai gandul πΎπ‘Žπ‘˜π‘π‘Žβ„Ž, ke empat ujungnya lancip. Kalau jatuh bisa menusuk dada.

Pakai gandul tulisan ‘π΄π‘™π‘™π‘Žβ„Ž’, dalam huruf Arab, kalau masuk WC, terutama waktu di Mall, bagaimana. Harus dicopot ? Kalau ndak, nanti didemo. Penistaan Allah, menista agama . . .

Kalau pakai kalung ‘tasbih’, dikira sedang maen sinetron ‘azab2an’. Peran sebagai ‘ulama’ sakti. Mungsuhnya, penjahat pakai ‘udeng jawa’, baju terbuka, celana pangsi hitam, mukanya merah, mata mendelik, dan di akhir mesti mati . . .

Atau sekilas, bisa dikira pendeta, monk, dari biara Shaolin.

Akhirnya ndak jadi pakai . . .

Ndak tau ya, semakin tua kok semakin ‘males’ tunjukkan hal2 yang berbau ‘relijis’. Rasanya ndak enak. Kesannya kok sedang omong, ‘Ini aku, itu kamu’. Dengan tanda kutip dan tanda seru . . .

Aku dan kamu, biar Tuhan saja yang tahu. Pikir saya . . .

Tapi saya kadang ingin tunjukkan juga ‘siapa aku’. Waktu nginap di hotel atau hadiri kondangan di sebuah gedung. Pokoknya yang ada ‘lift’nya.

Waktu naik lift, saya mesti ucap ‘Basmalah’. Waktu lift berhenti, sebelum keluar saya ucap ‘Hamdallah’. Agak keras. Biar teman satu lift mendengar. Mengapa ?

Anak Wedok dan Nyonya saya kan ndak pakai jilbab, kalau ucap bismillah dan alhamdulillah, mereka jadi tahu. Ternyata ‘masih ada’ orang Islam yang ndak pakai jilbab. Keren lagi . . .

Suami atau Bapaknya membiarkan. Dan Justru semakin gede atau banyak ‘bintang’ hotelnya, makin mahal tarifnya, saya makin kencang ucapkannya.

Malah, kalau perlu saya tambah dengan teriak takbir. Selain tunjukkan identitas, dan relijis, juga berniat ‘syiar’

Allahu Akbar . . . !

Allahu Akbar . . . !

Allahu Akbar . . . !

Tapi rasanya kok ndak enak juga . . .

Akhirnya ndak jadi. Rencana tinggal rencana.

Saya ‘lihat’ Tuhan diatas sana sedang senyum, dan berucap, ‘Bagimu agamamu, bagi mereka biarlah jadi agama mereka.’

Kata Tuhan pula, ‘Semua itu cuma ada di tanganku. Aku yang ‘purba-wasesa’. Sebiji zarrah pun, Aku akan tahu . . .’

Ndak usah sok pamer, apalagi menyebut namaKu dengan bengak-bengok . . .

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed