by

Antara Ganjar dan Gibran

Oleh : Sunardian Wirodono

Banyak persamaan antara Ganjar dan Gibran, pada huruf awal nama mereka. Juga setidaknya ada 4 huruf yang sama dari nama yang sama-sama berjumlah 6 huruf. Cuma gitu doang?

Kalau mau dicari-cari, tentu banyak sekali persamaan mereka, sebagaimana sama halnya kalau kita mencari-cari perbedaannya. Ini kita ngomongin Ganjar Pranowo dan Gibran Rakabuming Raka? Belum tentu juga. Di Indonesia Raya ini yang bernama Ganjar dan Gibran tak hanya satu orang. Ada banyak.

Tapi, apalah artinya nama? Ya, banyak, Peare, Shakespeare! Apalagi kalau namanya memang Ganjar Pranowo dan Gibran Rakabuming Raka tadi. Dan lebih apalagi di Indonesia, dalam masa transisi politik paska Jokowi. Orang mulai menggoreng kebaikan nama, orang mulai mencari-cari dan bahkan menyimpan (informasi) keburukan liyan, sebagai bom waktu, bila-bila masa dibutuhkan untuk menjatuhkan lawan.

Nah, Ganjar Pranowo meski anak kandung PDI Perjuangan, kader partai sejak mahasiswa dan bahkan sebelum PDI dilabeli huruf P untuk memposisikan status ‘perjuangan’, ia bisa dituding kemajon, kemlinthi, mbagusi, dan sebagainya. Justeru oleh orang-orang internal partainya sendiri. Juga dia bisa dituding popular karena medsosan mulu. Padal, pimpinan itu diuji di lapangan, kata entah siapa. Ganjar seolah bukan anak kandung dari partai yang ikut diperjuangkannya sejak mahasiswa, dan aktif di GMNI sewaktu kuliah di UGM Mbulaksumur.

Senyampang itu, Gibran Rakabuming Raka, sebagai anak Jokowi yang Presiden Republik Indonesia (dan diyakini sebagai anak Jokowi), justeru dipersepsi cem-macem. Apalagi ketika menjadi Walikota Solo, pun terbaru masih dituding sebagai pemimpin karbitan, ketika muncul gosip maju sebagai Gubernur Jawa Tengah atau bahkan DKI Jakarta. Semuanya, konon karena ia anak Presiden. Coba kalau anak tukang bakso, ya, Bu Mega?

Padal bagi Gibran, sebelum sebagai pejabat publik, ketika bapaknya masih sebagai Walikota Solo, usaha katering dan berkembang bisnisnya, dipergosipkan sebagai buah atau bagian dari pengaruh bapaknya. Ada yang mengaku Aktivis 98 menilai tidak mungkin Cuma jualan martabak dan pisang goreng bisa kaya-raya begitu. Yang jualan pisang goreng tentu maksudnya Kaesang, adik Gibran. Intinya inti, atau core of the core dari ahlinya ahli, anak-anak Jokowi itu, jadi orang karena Jokowi. Kalau Jokowi pernah jadi Walikota Solo, maka kemudian anaknya jadi Walikota Solo, terus nanti anaknya digadhang jadi Gubernur DKI, terus kelak jadi Presiden Republik Indonesia.

Betapa tak mudahnya menjadi Gibran anak Jokowi. Kalau boleh memilih, saya menduga Gibran lebih hepi menjadi anak tukang meuble. Karena tukang meuble toh tidak ditampik Megawati untuk dilamar jadi capres. Dengan syarat, menangkan PDIP (maka) Jokowi Capres. Dan banyak pendukung Jokowi yang bukan PDIP-ers waktu itu (2014), mencoblos parpol bergambar banteng mrenges itu agar Jokowi bisa dicapreskan.

Orang Indonesia, terutama ketika ngomongin politik, apalagi yang ngomong politikus dan pengamat politik, yang muncul hanyalah subjektivitas mereka. Kalimatnya penuh improvisasi dan tidak pernah dari hasil penelitian dan informasi yang valid. Kalau media (seperti TV/koran/majalah cetak dan online) mengutip mereka, karena butuh dagangan atau jualan informasi. Ketika Mardani Ali Sera menuding Gibran pemimpin karbitan, karena Mardani politikus dari PKS. Celakanya, apa yang tak disetujui orang PKS, dipakai sebagai tanda hal tersebut justeru on the track, sudah tepat. Jika Mardani menyebut Gibran pemimpin karbitan, makna sejatinya: Gibran pemimpin yang tepat dan berkualitas.

Demikian juga halnya Ganjar Pranowo, yang dinilai oleh sesama partai sebagai kemajon, kemlinthi, atau dipertanyakan bukti. Padal benarkah ada ucapan Ganjar mau mencapreskan diri? Bukankah Ganjar tahu pencapresan dari PDIP haqul mutlak di tangan Megawati Soekarnoputri, sesuai keputusan kongres? Siapa yang tidak taat azas ngomongin copras-capres?

Namanya juga celometan politik, tidak pernah bersandar fakta dan data. Mengutip omongan antropolog Koentjaraningrat, orang Indonesia disamping tak disiplin dan tak tertib hukum, lebih mengandalkan gerundelan. Padal, sudah jelas Gibran menjadi Walikota Solo tahun 2020, bukan sebelum 1998 ketika Soeharto masih berjaya. Gibran lahir dari UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pilkada, dan seterusnya. Tak ada aturan hukum yang dilanggar. Ia punya hak yang sama dengan tukang bakso, meski dianggap gimanaaa gitu oleh ketum parpol.

Kita ribut dengan asumsi dan praduga bersalah. Padal kita punya banyak aturan tertulis. Baca dan pelajari saja itu, kemudian moralitas apa yang mendasari. Ukurannya kemudian toh juga sama, kalau mereka terbukti menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan, korupsi, kolusi, nepotisme, manipulasi, gratifikasi, dan sudah ditetapkan oleh pengadilan, selesai itu barang.

Tapi mau bijimana, Hotman Paris yang bukan hanya sebagai pemilik Holywings, kita tahu juga sebagai lawyer dan ngerti hukum, ketika firma usahanya mau ditutup (karena dinilai menista agama), minta keringanan dengan dalih dari 3.000 karyawan 2.850 beragama Islam. Mangsudnya? Kalau majoritas Islam terus tidak dibubarkan walau melanggar aturan? Cukup dengan materai Rp10ribu? Sama seperti perlakuan pada KRMT Roy Suryo karena KRMT? Yang tukang bakso bagaimana?

Dari elite politik yang tak tertib hukum, tidak taat aturan, maka juga akan lahir masyarakat yang hanya berpegang pada wacana-wacana, berasumsi, berpraduga bersalah. Karena senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang. Padal, bagi Gibran, dengan menjadi walikota ia bisa bergerak leluasa, dalam pengabdian ke masyarakat. Yang terang, semua dijalani dengan ketentuan dan syarat berlaku. Mungkin Ahok salah satu politikus yang mempengaruhi, kalau jadi pengusaha kamu hanya bisa menolong sedikit orang, bukan suatu masyarakat atau suatu era. Dengan menjadi walikota? Jawabnya tentu beda antara Haryadi Suyuti dengan Gibran, yang bisa melihat Anggun menyinden di Rue de Rivoli, sembari membawa ratusan pedagang UMKM dalam Java in Paris.

Ganjar Pranowo bukan anak tukang bakso, ia anak seorang Polisi. Tetapi karena bukan polisi model-model yang lagi ngehit sekarang, orang melihat Ganjar bukan anak siapa-siapa. Cuman ndilalahnya, ketika ia merasa sebagai anak kandung PDIP, di situ ia bermasalah. Bagi begitu banyak anak yang mengaku sebagai anak kandung partai, dan karena Ganjar bukan anak siapa-siapa, maka cara membullynya seperti ‘gitulah. Meskipun di sisi lain kita juga melihat tragedi, ada anak kandung ketum partai yang elektabilitasnya dalam berbagai survey teguh dan konsisten.

Ini tulisan untuk kampanye Ganjar dan Gibran? Nah, iya ‘kan? Padal saya hanya ingin mengajak mari berpikir dengan sabar, karena mereka mau gimana-gimana kelak, saya akan lihat kinerjanya. Bukan omongannya, apalagi omongan orang lain. Jangan kayak politikus yang kalah sebelum bersaing, main tuding dan main fitnah sembarangan. Berpolitik tanpa etika dan aturan.

Dalam hukum semesta, esensi air bukan hanya mengalir ke bawah, melainkan juga ke atas. Kita saja yang membatasi istilah mengalir ke bawah. Hanya yang menihilkan kehidupan, harapkan hujan dari langit, air di tempayan ditumpahkan. Dan selama ini kebanyakan orang hanya membaca filosofi air sampai ke muara, lautan. Jarang yang mau membacai bagaimana dari muara menuju langit, untuk kemudian kembali ke bumi. |

Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono III

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed