Oleh: Pepih Nugraha
Ketua KPK gencar mendorong para penyidiknya untuk melanjutkan kasus dugaan korupsi e-Formula yang telah digelar di Jakarta pertengahan tahun lalu. “To the point” saja, yang dibidik KPK adalah “auctor utama” penyelenggara balapan Tamiya raksasa itu, yaitu Anies Baswedan.
Sontak para pembelanya seperti Rocky Gerung, menyebut upaya Firli Bahuri itu sebagai upaya sistematis untuk menjegal Anies Baswedan dari pencalonannya sebagai bakal Presiden di Pilpres 2024.
Diketahui, upaya mengendus aroma korupsi dalam kasus e-Formula sudah dilakukan sejak lama, tetapi tidak ada kemajuan. Boleh jadi karena belum cukup bukti sehingga penyidik tidak boleh gegabah atau memang para penyidik KPK terbelah.
Rocky menggerung, jika KPK terus mencari-cari kesalahan mantan gubernur DKI Jakarta yang juga bakal capres Nasdem itu dengan maksud menjegal pencapresan Anies, maka tidak tertutup kemungkinan bakal terjadinya “people power”. Jelas disebutkan dalam tayangan video YouTube itu “people power”, bukan “people powder”.
Anies tentu paham gerak-langkah KPK yang dalam pandangannya tidak lagi melakukan kerja yuridis, tetapi sudah masuk ke ranah politis, yakni menjegal dirinya.
Anies juga tentu paham, ia adalah sasaran tembak utama kasus e-Formula dengan dugaan adanya dana yang tak dapat dipertanggungjawabkan lebih dari setengah triliun rupiah saat melakukan “commitment fee” atau “initial fee” lomba balapan tersebut. Menyidik kasus e-Formula tanpa melibatkan Anies adalah “hil yang mustahal”.
Persoalannya memang, membidik Anies -oleh lembaga hukum manapun- akan dimaknakan sebagai penjegalan Anies dari pencapresan, terutama oleh para pendukung fanatik dan para penyokongnya, khususnya Nasdem.
Dari sisi elektabilitas yang selalu berada di tiga besar sejumlah survei, Anies jelas sangat potensial, apalagi mesin partai Nasdem telah memanggungkan Anies dalam acara “safari politik” ke berbagai daerah dengan maksud mengenalkan sosok Anies.
Mengetahui adanya “gerakan” yang dimotori KPK ini, Anies pun memberi jawaban berupa “fait accompli” dengan mengunggah foto dirinya bersama putranya, Mikail Azizi Baswedan, berlatar belakang televisi yang menunjukkan judul film “The Edge of Democracy”.
Dalam caption yang ditulisnya, Anies menyebut bahwa film dokumenter yang diproduksi Petra Costa ini menceritakan “erosi demokrasi” dan perjalanan politik Lula da Silva sebagai Presiden Brasil.
Koran Tempo menulis, Anies menyebut bahwa dokumenter ini juga bercerita soal upaya penyingkiran Lula da Silva melalui pengadilan yang kontroversial. Lula, kata Anies, dituduh korupsi. Kendati demikian, pada 2021 Mahkamah Agung membatalkan hukumannya.
“Kejatuhan Lula dan erosi demokrasi di Brazil membuka jalan bagi Jair Bolsonaro (petahana),” kata Anies dalam unggahannya di Instagram, Senin, 2 Januari 2023, sebagaimana diberitakan Koran Tempo.
Selanjutnya Anies menjelaskan, film dokumenter “The Edge of Democracy” mengingatkannya pada buku “How Democracies Die” yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Anies menyebut buku ini menjelaskan tiga tahap untuk melemahkan demokrasi secara perlahan tanpa disadari.
Pertama, kuasai wasitnya. Hal ini diwujudkan dengan mengganti para pemegang kekuasaan di lembaga negara dari yang sebelumnya netral menjadi pendukung status quo.
Kedua, singkirkan pemain lawan. Dia menyebut penyingkiran ini dilakukan dengan cara kriminalisasi, suap, atau skandal.
“Ketiga, ganti aturan mainnya. Ubah peraturan negara untuk melegalkan penambahan dan pelanggengan kekuasaan,” kata Anies.
Anies menjelaskan, pelemahan demokrasi secara perlahan ini bisa disebabkan oleh apa yang disebut “shifting baseline syndrome” di mana perubahan dilakukan secara bertahap dan perlahan, sehingga publik terbiasa dengan kondisi barunya yang sebenarnya buruk.
“Kondisi yang penuh oleh praktik yang dulunya dipandang tidak normal dan tidak boleh dinormalkan dalam demokrasi, tapi karena perburukannya berlangsung perlahan maka tanpa disadar dianggap kewajaran baru,” tulis Anies.
Anies menilai, film dokumenter “The Edge of Democracy” ini memberikan pelajaran bahwa demokrasi tidak boleh “taken for granted”. Penyimpangan kecil namun kontinyu terhadap etika dan praktik demokrasi akan melebar jika dibiarkan.
“Pesan pentingnya, bila terlambat maka akan menjadi terlalu berat untuk dikembalikan pada relnya,” kata Anies.
Lula da Silva sendiri sudah dilantik menjadi Presiden Brazil beberapa waktu lalu, mengalahkan petahana Jair Bolsonaro dalam Pemilihan Umum. Sebelumya, Lula sudah menjadi Presiden Brasil periode 2003-2010.
Sementara KPK telah mengusut kasus e-Formula sejak pertengahan tahun 2021. Dalam proses penyelidikan, Anies menjadi salah satu pihak yang dimintai keterangan oleh KPK. Firli kemudian mendesak proses dilanjutkan ke tingkat penyidikan.
Di luar apakah Firli lebih menjalankan proses politik daripada hukum dalam kasus e-Formula ini, hal yang menarik justru dilakukan Anies dengan “fait accompli” lewat kasus Lula da Silva yang dianggap sama dan sebangun dengan dirinya dalam proses penyelidikan KPK.
Pesan Anies jelas: Lula da Silva ditetapkan tersangka oleh KPK-nya Brasil dan diproses pengadilan, tetapi Mahkamah Agung membebaskannya, lalu maju sebagai capres, kemudian menang dan menjadi Presiden!
Demikian jalan pikiran Anies yang mengidentikkan dirinya sebagai Lula da Silva-nya Indonesia.
Mungkin yang agak berbeda, Lula da Silva sebelumnya pernah menjadi Presiden, sementara Anies “baru” pernah menjadi gubernur dan akan berusaha menjadi Presiden di Pilpres 2024.
Itupun kalau jalannya mulus.
(Sumber: Facebook Pepih N)
hehehe mekso banget, nyama nyama in
lula.
ya tunggu aja kalo sdh jadi tersangka KPK baru mirip,
orang blm tersangka kog nyama2 in.
ngebet banget mau “ngerusak NKRI”